KOMPAS.com – Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) telah berkembang menjadi salah satu tolok ukur utama dalam praktik bisnis global.
Lebih dari sekadar tren, ESG kini menjadi fondasi bagi perusahaan yang ingin bertahan dan berkembang di era yang menuntut keberlanjutan.
Paradigma ini menggeser fokus perusahaan dari sekadar mengejar keuntungan finansial jangka pendek menuju penciptaan nilai jangka panjang, yang mencakup pelestarian lingkungan, kesejahteraan sosial, dan tata kelola yang akuntabel.
Pergeseran ini tak lepas dari tekanan konsumen dan investor. Di tingkat konsumen, misalnya, preferensi terhadap praktik bisnis berkelanjutan terus menguat dalam beberap tahun terakhir.
Baca juga: Lestari Award 2025 Menebar Inspirasi Keberlanjutan dengan Tiga Inovasi
Menurut data dari PwC pada 2021, sekitar 75 persen konsumen mengaku bersedia membayar lebih untuk produk yang berkelanjutan. Jumlah ini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Di sisi lain, investor—baik institusi maupun ritel—kian menjadikan ESG sebagai salah satu kriteria utama dalam pengambilan keputusan investasi.
Tren tersebut menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Namun, klaim keberlanjutan tidak cukup hanya disampaikan secara normatif.
Publik dan pemangku kepentingan kini menuntut transparansi dalam bentuk data konkret, indikator terukur, dan laporan yang dapat diverifikasi secara independen.
Standar transparansi meningkat
Di tingkat global, regulasi pelaporan keberlanjutan kian diperketat. Di Amerika Serikat, misalnya, hampir seluruh perusahaan dalam indeks S&P 500 telah menerbitkan laporan keberlanjutan. Sementara Uni Eropa memberlakukan Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) yang mewajibkan perusahaan menyusun laporan ESG terstruktur dan terverifikasi.
Laporan yang transparan bukan hanya memperkuat kepercayaan publik dan investor, tetapi juga membantu perusahaan mengelola risiko dan mematuhi regulasi yang terus berkembang.
Indonesia pun tak ketinggalan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan perusahaan publik dan lembaga jasa keuangan untuk mengintegrasikan prinsip ESG melalui POJK No. 51/2017 dan SEOJK No. 16/2021.
Baca juga: Lestari Award 2025: Panggung Inspirasi Keberlanjutan Kini Jangkau UMKM dan Regional Asia
Bursa Efek Indonesia juga meluncurkan platform SPE IDXnet pada 2023 untuk menstandarkan pelaporan ESG di Tanah Air. Tujuannya: memperkuat transparansi dan mendukung pengambilan keputusan investasi yang lebih berbasis data.
Namun, tantangan masih ada. Standar nasional belum sefleksibel CSRD atau Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Banyak perusahaan menghadapi kendala dalam mengumpulkan data, menentukan isu material yang relevan, dan membangun sistem pelaporan yang kredibel.
Kemudian, ada juga tantangan lain berupa kompleksitas pengumpulan data, kurang jelasnya standar yang ada, dan kebutuhan untuk menentukan isu material yang relevan bagi perusahaan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut dan mendorong transformasi bisnis yang berkelanjutan, perusahaan harus mau melakukan sejumlah hal.
Hal itu, seperti berinvestasi dalam teknologi, berkolaborasi untuk menetapkan standar, serta mendorong penguatan sinergi dengan pemangku kepentingan.
Namun, di tengah berbagai tantangan tersebut, sejumlah praktik positif mulai bermunculan sebagai contoh keberhasilan dalam membangun transparansi ESG di Indonesia.
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), misalnya, menunjukkan komitmen kuat dalam pengelolaan keberlanjutan yang transparan.
Salah satu komitmen itu dibuktikan melalui kesuksesn PGEO dalam meraih peringkat Negligible Risk dengan skor 7,1 dalam ESG Risk Rating dari Sustainalytics.
Peringkat tersebut menempatkan PGEO sebagai perusahaan dengan risiko ESG terendah di sub-sektor energi terbarukan dan industri utilitas global.
Tak hanya itu, PGEO juga menjadi penyedia kredit karbon pertama di Bursa Karbon Indonesia dan berhasil meraih penghargaan Gold dalam Asia Sustainability Reporting Rating (ASRRAT) 2024.
Di sektor pembiayaan, sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) perbankan turut mengambil peran dalam mendukung ekosistem keberlanjutan.
Bank tersebut, seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI yang menerbitkan green bond dalam denominasi rupiah senilai Rp 5 triliun pada 2022 dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) atau yang BRI memimpin penerbitan global senilai 80 juta dollar AS dengan target penggalangan dana hijau hingga Rp 15 triliun dari 2022 hingga 2024.
Baca juga: Pendaftaran Lestari Award 2025 Resmi Dibuka
Kemudian, Bank Mandiri bersama sejumlah perusahaan energi terbarukan lainnya juga mengikuti langkah serupa dengan menerbitkan instrumen pembiayaan berbasis keberlanjutan.
Berbagai langkah sektor keuangan tersebut sejalan dengan visi pembangunan jangka panjang pemerintah.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 81,96 persen pada 2045 dibandingkan proyeksi baseline 2025.
Transparansi dalam penerapan ESG bukan hanya kewajiban, tetapi juga peluang untuk membangun reputasi, menarik investasi, dan menciptakan dampak positif yang berkelanjutan.
KG Media melalui Lestari Awards 2025 ingin mendorong lebih banyak perusahaan di Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam membangun bisnis yang lestari dan bertanggung jawab.
Ingin tahu lebih jauh tentang praktik ESG dan bagaimana perusahaan Anda bisa menjadi bagian dari inisiatif ini? Kunjungi laman berikut dan ikuti rangkaian agendanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya