KOMPAS.com — Ketegangan terbaru antara Iran dan Israel kembali menyulut gejolak global. sejak Jumat (13/6/2025). Konflik ini pun memicu kekacauan geopolitik, memunculkan kekhawatiran dampak lanjutan pada pasokan energi, logistik global, dan stabilitas regional.
Di saat krisis geopolitik masih berlangsung, bencana juga tetap menunjukkan ancamannya. Akhir Mei 2025, di Pegunungan Alpen Swiss, gletser Birch longsor dahsyat menghantam Desa Blatten. Sebanyak 90 persen desa hancur total tertimbun jutaan ton es dan batu.
Di tengah rentetan konflik geopolitik yang menciptakan ketidakstabilan global dan bencana yang terus terjadi, gambaran risiko sistemik dunia semakin mengemuka.
Laporan terbaru PBB pun semakin mempertegas besarnya skala ancaman yang sedang dihadapi.
Baca juga: PBB: Kerugian Bencana 10 Kali Lebih Besar dari Perkiraan
Diberitakan Kompas.com, Sabtu (31/5/2025), laporan dari UNDRR, lembaga PBB yang bergerak dalam pengurangan risiko bencana mengungkapkan, kerugian akibat bencana alam secara global diperkirakan telah mencapai 2,3 triliun dollar AS per tahun. Angka ini 10 kali lipat lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Sebagian besar kerugian itu selama ini tidak tercatat dalam pembukuan resmi. Kerugian ini tersembunyi di balik kerusakan jangka panjang infrastruktur, hilangnya produktivitas, terganggunya pasokan global, hingga meningkatnya beban kesehatan masyarakat.
Selama ini, manajemen risiko dalam banyak organisasi masih berfokus pada ancaman finansial yang terukur, seperti fluktuasi pasar, gangguan operasional, atau perubahan harga. Risiko-risiko tersebut dipetakan secara sektoral dan dianggap berdiri sendiri.
Namun, krisis yang terjadi belakangan menunjukkan bahwa risiko kini saling terkait. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, misalnya, tidak hanya mengancam stabilitas politik, tetapi juga memicu lonjakan harga energi, mengganggu logistik global, hingga menekan ekonomi domestik berbagai negara.
Baca juga: Transformasi ESG di Tengah Guncangan Geopolitik Global
Risiko-risiko itu bergerak cepat, saling memperbesar dampak satu sama lain. Sayangnya, banyak pendekatan manajemen risiko konvensional gagal membaca efek berantai seperti ini.
Ketika krisis datang, banyak organisasi baru mulai bereaksi. Padahal, dalam kondisi dunia yang semakin tidak pasti, pendekatan reaktif seperti itu justru memperbesar potensi kerugian.
Melihat kompleksitas risiko yang saling terhubung, banyak perusahaan dan lembaga kini mulai mengadopsi pendekatan pengelolaan risiko yang lebih menyeluruh, yaitu pengelolaan risiko berbasis keberlanjutan atau ESG Risk Management.
Berbeda dengan manajemen risiko konvensional yang semata fokus pada kerugian finansial jangka pendek, pendekatan ini mengintegrasikan tiga aspek kunci, yakni environmental (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola) ke dalam sistem pengambilan keputusan bisnis.
Aspek lingkungan mencakup upaya mitigasi dampak perubahan iklim, mengelola penggunaan sumber daya alam secara bijak, serta memperkuat ketahanan terhadap bencana. Di sisi sosial, perusahaan memperhatikan hak pekerja, relasi dengan komunitas sekitar, serta tanggung jawab rantai pasok.
Baca juga: ESG Bukan Lagi Kewajiban tetapi Mesin Inovasi dan Pertumbuhan
Sementara dari sisi tata kelola, transparansi, integritas, serta pengambilan keputusan yang akuntabel menjadi fondasi utama.
Dengan pendekatan itu, risiko tidak hanya dipetakan berdasarkan apa yang terjadi di dalam bisnis, tetapi juga bagaimana bisnis tersebut dipengaruhi sekaligus memberi pengaruh pada lingkungan sosial dan ekosistem di sekitarnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya