Namun hingga saat ini, belum ada fasilitas DGD yang benar-benar beroperasi penuh di dunia. Sementara ini, limbah radioaktif tingkat tinggi umumnya disimpan di tempat pembuangan sementara seperti kolam pendingin (storage pond) atau wadah kering (dry cask storage) yang berada di kompleks PLTN.
Finlandia menjadi negara pertama yang memimpin pembangunan DGD lewat proyek Onkalo yang digarap perusahaaan Posiva. Saat ini, fasilitas tersebut sedang dalam tahap uji operasional.
Fasilitas ini menggunakan sistem berlapis (multi-barrier system). Limbah radioaktif tingkat tinggi dikemas rapat, dimasukkan dalam wadah besi, lalu dibungkus lagi dengan tembaga tahan karat. Semua dikubur 400–500 meter di bawah permukaan, dalam batuan granit yang stabil dan kedap air.
Untuk mencegah air masuk dan radiasi keluar, lubang tersebut diisi dengan bentonite buffer dan tunnel backfill, yaitu tanah liat khusus yang kedap air. Setelah lubang penyimpanan penuh, seluruh terowongan ditutup secara permanen. DGD Onkalo ini dirancang agar dapat bertahan hingga 100.000 tahun.
Di berbagai negara, jenis batuan yang dipilih untuk DGD berbeda. Finlandia misalnya memilih granit yang berumur hampir dua miliar tahun dan kedap air menjadi media penyimpanan.
Baca juga: China Berniat Bangun PLTN di Bulan Bareng Rusia, Ini Alasannya
Indonesia juga punya potensi serupa. Pemetaan awal menunjukkan formasi granit Laskar Pelangi di Bangka Belitung berpotensi menjadi batuan dasar untuk DGD. Namun, untuk memastikan kelayakan digunakan sebagai media penyimpanan limbah nuklir, batuan ini tentu harus lolos uji teknis dan hidrogeologi secara ketat.
Perlu persiapan urusan non-teknis yang kompleks
Penyimpanan limbah nuklir bukan hanya soal teknik dan geologi. Butuh waktu, dana, dan juga kepercayaan publik.
Fasilitas DGD Onkalo misalnya, menelan biaya sekitar 1,07 miliar euro (setara Rp17 triliun). Angka tersebut berporsi sekitar 10 persen dari biaya pembangunan reaktor nuklir Olkiluoto-3 berkapasitas 1.600 megawatt yang berada di daerah yang sama (sekitar 11 miliar euro atau setara Rp 176 triliun).
Namun, persoalan muncul dari durasi pembangunan fasilitas manajemen limbah nuklir yang tidak bisa dibilang singkat. Pembangunan Onkalo butuh waktu 3 dekade dari 1995 sampai 2025.
Selain biaya dan waktu, satu hal yang tak kalah penting adalah legitimasi sosial. Tanpa dukungan publik, teknologi terbaik pun bisa bisa gagal—seperti kasus Yucca Mountain di Amerika Serikat.
Di Inggris, misalnya, mereka menargetkan DGD beroperasi pada 2075. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, Inggris sudah menggandeng masyarakat lokal lewat program Community Partnership melalui Nuclear Waste Services. Warga terlibat dalam proses sejak awal, mendapat dana komunitas, serta punya hak untuk menolak.
Di Indonesia, wacana pengelolaan limbah nuklir sudah mulai disusun dalam Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Limbah Radioaktif dan Bahan Bakar Nuklir Bekas. Namun, belum ada penjelasan tentang Deep Geological Disposal, baik lokasi, laboratorium bawah tanah, maupun skema pelibatan publik.
Dengan keragaman budaya dan geologi yang kompleks, Indonesia perlu perencanaan matang dan inklusif karena energi nuklir akan meninggalkan jejak panjang bagi generasi mendatang.
Penyimpanan limbah bukan pelengkap proyek PLTN, tapi bagian inti dari sistem energi nuklir itu sendiri. Perencanaan untuk pengelolaan limbahnya harus dipikirkan dengan kesungguhan yang sama dengan pembangunan reaktor nuklir. Jika tidak, energi nuklir hanya akan menjadi sumber masalah baru.
* Researcher at UiB | Head - Center for Sustainable Geoscience and Outreach (CSGO), Universitas Pertamina
Baca juga: RUPTL Segera Disahkan, Realisasi PLTN Ditarget 500 MW sampai 2035
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya