Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU Kehutanan Harus Jadi Momen Akhiri Warisan Kolonial

Kompas.com, 12 Juli 2025, 20:37 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pakar menilai bahwa Revisi Undang-Undang (RUU) Kehutanan yang tengah dibahas DPR RI harus menjadi momen untuk mengakhiri warisan kolonial dalam tata kelola hutan.

UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dianggap tidak lagi relevan dalam menghadapi kompleksitas maupun konflik kehutanan. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyampaikan pentingnya mengubah paradigma kehutanan.

“Dekolonisasi hutan mensyaratkan perubahan cara pandang dari negara sebagai pengelola utama menjadi rakyat sebagai pilar utama," ungkap Yance dalam keterangannya, Sabtu (12/7/2025).

Dia berpandangan, rule of law kehutanan harus berlandaskan keadilan sosial dan ekologis. Bukan sekadar legalisasi kontrol negara. UU Kehutanan juga dianggap bertentangan dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria (UUPA).

Baca juga: 3 Kali Masuk Prolegnas, RUU Masyarakat Adat Tetap Macet Sejak 2009

UUPA secara tegas membongkar asas domein verklaring, doktrin kolonial yang mengeklaim tanah tak berpemilik sebagai milik negara. Aturan itu memberikan pandangan terkait tanah, air, ruang angkasa, dan isi bumi, serta menghubungkan manusia dengan ruang hidupnya.

Sebaliknya, UU Kehutanan justru memisahkan masyarakat adat dari tanahnya melalui pengaturan status hak.

Peneliti ICEL, Difa Shafira, menyampaikan pokok materi RUU Kehutanan yang digulirkan Badan Keahlian DPR RI dan Panja RUUK belum menjawab masalah substansial dan masih mempertahankan pendekatan negara sentris.

Menurut dia, UU Kehutanan harus berperan sebagai penjaga keamanan atas kekayaan sumber daya alam.

“Ini penting karena Indonesia punya komitmen di tingkat global untuk menekan laju deforestasi, yakni National Determined Contribution," papar Difa.

Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat Jaga Kelestarian Lingkungan

Ubah Paradigma Hukum

Sementara itu, Manajer Kebijakan Lingkungan dari Yayasan Kehati, Mohamad Burhanudin, menegaskan RUU Kehutanan sejatinya merupakan momentum penting dalam mengubah paradigma hukum menuju keadilan ekologis.

Hutan seharusnya dipandang sebagai bagian penting dari sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar objek produksi.

"Pendekatan hukum yang baru harus mengakui peran masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem. Mereka memiliki pengetahuan dan praktik hidup yang lebih selaras dengan alam," tutur Burhanudin.

"Mengintegrasikan ecological law dalam revisi UU Kehutanan akan memastikan hutan dikelola untuk keberlanjutan, bukan untuk pertumbuhan jangka pendek,” imbuh dia.

Sejauh ini, kata Burhanudin, masyarakat adat masih sangat sulit terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait wilayahnya sebagai ruang hidup.

Baca juga: Pembagian Fungsi Hutan dalam Revisi UU Kehutanan Dinilai Sudah Tak Relevan

“Harapannya, Revisi UU Kehutanan harus menjadi instrumen membongkar kekuasaan tertutup tersebut dan membuka ruang partisipasi aktif bagi masyarakat adat dalam tata kelola hutan,” ucap dia.

Ia juga menyoroti bahwa tata kelola sektor kehutanan menghadapi masalah serius terkait akuntabilitas dan transparansi. Tumpang tindihnya perizinan hingga lemahnya pengawasan terhadap korporasi besar pun menunjukkan tata kelola sektor kehutanan belum berpihak pada keberlanjutan.

Juru Kampanye dari Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menegaskan UU Kehutanan harus berubah total menjadi UUK yang baru karena telah memenuhi seluruh aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis. UU Kehutanan yang baru dapat menjadi jawaban komprehensif atas persoalan tata kelola hutan saat ini.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Pulihkan Ekosistem, WBN Reklamasi 84,86 Hektare Lahan Bekas Tambang di Weda
Pulihkan Ekosistem, WBN Reklamasi 84,86 Hektare Lahan Bekas Tambang di Weda
Swasta
IWIP Percepat Transisi Energi Lewat Proyek PLTS dan PLTB di Weda Bay
IWIP Percepat Transisi Energi Lewat Proyek PLTS dan PLTB di Weda Bay
Swasta
Bapeten Musnahkan 5,7 Ton Udang Ekspor yang Terkontaminasi Cesium-137
Bapeten Musnahkan 5,7 Ton Udang Ekspor yang Terkontaminasi Cesium-137
Pemerintah
IESR: Revisi Perpres 112 Tahun 2022 Ancam Target Transisi Energi
IESR: Revisi Perpres 112 Tahun 2022 Ancam Target Transisi Energi
LSM/Figur
8 Juta Anak Indonesia Memiliki Darah Mengandung Timbal Melebihi Batas WHO
8 Juta Anak Indonesia Memiliki Darah Mengandung Timbal Melebihi Batas WHO
Pemerintah
Bobibos Diklaim Lebih Ramah Lingkungan, Ini Penjelasan BRIN
Bobibos Diklaim Lebih Ramah Lingkungan, Ini Penjelasan BRIN
LSM/Figur
IWIP Libatkan UMKM dalam Rantai Pasok Industri, Nilai Kerja Sama Tembus Rp 4,4 Triliun
IWIP Libatkan UMKM dalam Rantai Pasok Industri, Nilai Kerja Sama Tembus Rp 4,4 Triliun
Swasta
Celios: Pembatasan Izin Smelter Harus Disertai Regulasi dan Peta Dekarbonisasi
Celios: Pembatasan Izin Smelter Harus Disertai Regulasi dan Peta Dekarbonisasi
Pemerintah
COP30 Buka Peluang RI Dapatkan Dana Proyek PLTS 100 GW
COP30 Buka Peluang RI Dapatkan Dana Proyek PLTS 100 GW
Pemerintah
Kemenhut: 6.000 ha TN Kerinci Seblat Dirambah, Satu Orang Jadi Tersangka
Kemenhut: 6.000 ha TN Kerinci Seblat Dirambah, Satu Orang Jadi Tersangka
Pemerintah
Masa Depan Keberlanjutan Sawit RI di Tengah Regulasi Anti Deforestasi UE dan Tekanan dari AS
Masa Depan Keberlanjutan Sawit RI di Tengah Regulasi Anti Deforestasi UE dan Tekanan dari AS
Swasta
Negara di COP30 Sepakati Deklarasi Memerangi Disinformasi
Negara di COP30 Sepakati Deklarasi Memerangi Disinformasi
Pemerintah
3.099 Kasus Iklim Diajukan Secara Global hingga Pertengahan 2025
3.099 Kasus Iklim Diajukan Secara Global hingga Pertengahan 2025
Pemerintah
Seruan UMKM di COP30: Desak agar Tak Diabaikan dalam Transisi Energi
Seruan UMKM di COP30: Desak agar Tak Diabaikan dalam Transisi Energi
Pemerintah
Mendobrak Stigma, Menafsir Ulang Calon Arang lewat Suara Perempuan dari Panggung Palegongan Satua Calonarang
Mendobrak Stigma, Menafsir Ulang Calon Arang lewat Suara Perempuan dari Panggung Palegongan Satua Calonarang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau