BOGOR, KOMPAS.com — Pertanian warisan leluhur yang dijalankan masyarakat adat dinilai lebih menjaga keseimbangan antara kehidupan sosial dan alam, lebih berkelanjutan.
Hal ini disampaikan Kiagus M. Iqbal, peneliti dan pegiat di Sajogyo Institute sekaligus perwakilan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam diskusi publik “Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Jalan Pulang Daulat Pangan”, Senin (21/7/2025).
Iqbal menjelaskan bahwa praktik pertanian masyarakat adat mengedepankan kelestarian dan pemulihan tanah secara berkala. Pola ini berbeda dengan pertanian modern yang berorientasi pada produksi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pasar.
“Mereka biasanya menggunakan benih-benih lokal, sehingga lebih mandiri. Meski masa panennya lebih lama, tapi itu justru lebih berlanjut,” ujar Iqbal.
Dengan cara ini, hanya memungkinkan penanaman sekali hingga dua kali dalam setahun, tetapi ini membuat tanah menjadi lebih sehat karena nutrisi tidak dikeruk terus-menerus sehingga tanah dapat digunakan dalam jangka waktu panjang.
Menurut Iqbal, penanaman yang lebih berkala dan tidak dipaksakan panen dalam waktu singkat juga berdampak pada pengurangan penggunaan pestisida, karena metode ini tidak menarik banyak hama ke sekitar tanaman pangan.
Baca juga: Membangun Tanpa Merusak, Masyarakat Adat Aru Raih Penghargaan Kelas Dunia
Iqbal menambahkan, dalam risetnya di Simbuang, Toraja Barat, ditemukan praktik pemanfaatan hewan yang sering dianggap hama untuk mengendalikan gulma.
“Keong-keong kecil yang dianggap hama di banyak tempat, di sana justru membantu petani menyangi rumput-rumput kecil di sekitar tanaman,” katanya.
Tanaman utama tidak terganggu, karena bibit lokal dinilai lebih tahan terhadap gangguan di sekitarnya.
Namun, belum adanya pengakuan hukum yang jelas atas wilayah adat membuat praktik-praktik tersebut kerap terpinggirkan. Banyak lahan masyarakat adat justru diambil alih untuk pertanian skala besar yang tidak selaras dengan prinsip keberlanjutan.
Iqbal menilai, pertanian modern saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pangan yang berpihak pada kepentingan korporasi dan produksi massal.
“Yang paling ironi adalah pengurasan sumber-sumber agraria dan nutrisi tanah demi peningkatan produktivitas tanaman pangan,” ujarnya.
Jika tanah terus ditekan dan kehilangan kesuburannya, masyarakat adat akhirnya harus kembali bergantung pada pasar, misalnya dengan membeli pupuk kimia untuk menunjang pertanian.
Baca juga: Ke PBB, Masyarakat Adat Desak Pemulihan Hak atas Wilayah Leluhur
Itu dapat menyebabkan ketergantungan serupa juga terjadi pada benih. Setelah benih lokal ditinggalkan demi mengejar hasil tinggi, petani akhirnya harus membeli benih dari luar, yang membuat sistem pertanian semakin rapuh, tanah rusak, tanaman rentan, dan ketergantungan semakin tinggi.
“Hal ini melemahkan upaya kemandirian pangan, terutama bagi masyarakat adat,” ujar Iqbal. Masalah semakin kompleks karena makanan pokok dipaksakan seragam menjadi beras.
Oleh karena itu, menurut Iqbal, pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi sangat penting. Pertanian warisan leluhur tidak hanya menjadi alternatif berkelanjutan, tetapi juga menopang kedaulatan pangan.
“UU ini penting bukan hanya untuk mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum di mata negara, tapi juga untuk memastikan mereka bisa menguasai kembali sumber-sumber agraria mereka, misalnya lewat pengakuan hak ulayat,” katanya.
Pengakuan ini memberi ruang bagi masyarakat adat untuk mengelola wilayah mereka secara mandiri, yang dapat berdampak positif pada krisis pangan dan perubahan iklim.
Meski tidak menjanjikan hasil instan, Iqbal menyebut praktik pertanian adat berpotensi menjadi solusi jangka panjang karena mengutamakan keberlanjutan. Dengan menjaga kelestarian alam, praktik ini memungkinkan pertanian berlanjut dari generasi ke generasi.
Iqbal juga menyoroti relevansi pertanian adat terhadap krisis iklim.
“70 sampai 80 persen lahan pertanian di Indonesia rusak dan sulit dipulihkan,” ujarnya.
Namun, karena praktik pertanian harus terus berlanjut, cara mengatasinya sering kali dibuka lahan baru yang justru memperparah masalah iklim.
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
Sebaliknya, pertanian adat menerapkan sistem ladang gilir balik, yang sering disalahpahami sebagai perusakan hutan atau perambahan. Padahal sistem ini mengikuti siklus alam, satu lahan digunakan selama dua tahun, lalu dibiarkan pulih, dan baru digunakan kembali setelah beberapa waktu.
Dengan cara ini, masyarakat adat tidak perlu membuka lahan baru, sehingga dapat menjadi solusi untuk menahan laju kerusakan lingkungan.
“Praktik pertanian warisan leluhur ini, bisa saya bilang ini ngerem (kerusakan),” ujar Iqbal.
Selain itu, masyarakat adat juga memiliki tata ruang hidup yang terencana. Wilayah mereka terbagi untuk pertanian, peternakan, dan hutan yang tetap dibiarkan lestari.
Jika diakui secara hukum, pengelolaan ruang oleh masyarakat adat ini bisa menjadi praktik yang berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menjadi fondasi bagi kedaulatan pangan nasional, karena lahan tidak rusak akibat tekanan produksi berlebih.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya