Sementara untuk desa-desa yang kurang beruntung, pemerintah dan pihak lain perlu membantu dalam pengelolaan, namun masyarakat tetap harus bertanggung jawab memilah sampah dari sumbernya.
Contohnya, di Desa Padamukti, bahkan diterapkan sistem iuran progresif dan konsep "barter" tenaga dengan warga yang kurang mampu.
Meskipun menghadapi tantangan, CARP di Desa Padamukti yang merupakan proyek percontohan, telah menunjukkan dampak positif.
Mereka berhasil membuktikan bahwa TPS 3R yang dikelola dengan standar operasional prosedur (SOP) yang benar tidak akan bau.
"Operator yang tadinya enggan bekerja di bidang sampah, kini memiliki kebanggaan (pride) atas pekerjaannya, bahkan salah satu operator menjadi pelopor desa yang mampu menjelaskan proyek kepada pengunjung asing," ungkap Peneliti UI Dwinanti Rika Marthanty.
TPS 3R di lokasi riset ini mulai mendapatkan penghasilan dari penjualan sampah plastik, budidaya belatung Black Soldier Fly (BSF), hingga panen kopi.
Baca juga: Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah
Ini memicu semangat dan antusiasme masyarakat, yang tadinya skeptis dan hanya menunggu bantuan dana.
Bahkan, hubungan antar instansi pemerintah daerah yang dulunya kurang harmonis, kini menjadi lebih kooperatif.
Rekomendasi kebijakan dari CARP telah didiskusikan dengan para pengambil keputusan, dan ada indikasi bahwa mereka mulai memahami pentingnya perubahan paradigma ini.
"Ini adalah langkah awal yang krusial. Jika paradigma zero waste at source dan tanggung jawab bersama ini bisa diterapkan secara nasional, kita bisa berharap tidak ada lagi sampah bertebaran di sungai, tidak ada lagi banjir, dan masyarakat Indonesia akan hidup lebih sehat dan sejahtera," pungkas Dwinanti.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya