Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset UI-Monash: 90 Persen TPS 3R di Indonesia Mangkrak

Kompas.com, 25 Juli 2025, 05:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com – Masalah sampah di Indonesia bak benang kusut yang tak kunjung terurai. Berbagai program diluncurkan, dana digelontorkan, namun tumpukan sampah masih menjadi pemandangan miris di banyak tempat.

Salah satu fakta paling mencengangkan yang diungkap oleh Citarum Action Research Project (CARP) adalah sekitar 90 persen dari total 3.779 Tempat Pengelolaan Sampah (TPS) 3R di seluruh Indonesia mangkrak.

Sebuah angka yang mencerminkan kegagalan sistematis dalam tata kelola persampahan kita.

Riset kolaboratif mendalam yang melibatkan Universitas Indonesia (UI), Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan, BSF, IPPIN-CSIRO, dan Monash University ini tidak hanya memaparkan data, tetapi juga menelanjangi akar penyebab kemangkrakan ini dan menawarkan paradigma baru yang holistik.

Baca juga: Kisah Alya Zahra, Mahasiswa yang Gencar Sulap Sampah Organik Jadi Kompos

Selama bertahun-tahun, upaya revitalisasi Sungai Citarum, misalnya, cenderung hanya berfokus pada aspek teknis.

Padahal, menurut Head of the Citarum Research Social Team Reni Suwarso, masalah utamanya adalah kegagalan tata kelola dan kurangnya pemahaman mendalam tentang aspek sosial.

"Hampir semua permasalahan Citarum disebabkan oleh perilaku manusia," ujar Reni menjawab Kompas.com, Kamis (24/7/2025).

Kebijakan top-down seperti Peraturan Presiden (PP) Nomor 15 Tahun 2018 yang membentuk Satgas Citarum pun terbukti sulit diimplementasikan karena kurangnya koordinasi dan pemahaman terhadap otonomi daerah serta realitas di lapangan.

Bahkan, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, Satgas Citarum tidak diperpanjang karena dianggap tidak efektif dan berakhir pada 31 Maret 2025.

Mengapa TPS 3R Mangkrak?

Melalui pendekatan "laboratorium hidup" di sepanjang 2,3 Km Sungai Citarik, Kabupaten Bandung, tim CARP menemukan beberapa alasan krusial di balik mangkraknya TPS 3R.

Pertama, tidak ada dana operasional berkelanjutan. Pemerintah seringkali hanya membangun infrastruktur dan peralatan seadanya.

TPS 3R yang idealnya melayani minimal 400 Kepala Keluarga (KK), seringkali kekurangan peralatan dan operator.

Baca juga: Plastik Jadi Campuran Aspal, Usulan Dosen UGM Tanggulangi Sampah

"Dana operasional yang memadai untuk membayar listrik, bensin, room material, dan yang terpenting, gaji operator, seringkali luput dari perencanaan awal. Padahal, operator yang bekerja dari pagi hingga sore. Tidak bisa hanya mengandalkan sukarela," ungkap Reni.

Kedua, masalah gaji operator yang tersumbat aturan. Ini adalah salah satu gap terbesar. Dana desa, yang seharusnya bisa mendukung keberlanjutan program, tidak bisa digunakan untuk membayar gaji operator sampah karena mereka tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa.

"Akibatnya, sulit mencari tenaga kerja yang konsisten dan termotivasi," imbuh Reni.

Ketiga, model bisnis yang sulit bersaing. Slogan "sampah adalah cuan" ternyata tak seindah kenyataan di lapangan.

Baca juga: Cegah Banjir, Pemprov DKI Siagakan Pasukan Oranye untuk Angkut Sampah Sungai

Sampah yang memiliki nilai jual tinggi seperti botol plastik bersih, dan kertas karton bagus sudah dipungut oleh "pemulung" atau bahkan "mafia sampah" yang memiliki jaringan dan modal lebih kuat.

"Intinya adalah kami kalah bersaing dengan pebisnis-pebisnis sampah yang memang sudah menampung sampah mahal," jelas Reni.

Akibatnya, sampah yang sampai di TPS 3R seringkali adalah sampah residu yang tidak berharga seperti kantong kresek atau kaset.

Ini membuat TPS 3R sulit memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai operasionalnya sendiri.

TPS 3R yang berhasil umumnya berlokasi di dekat objek pariwisata atau perumahan mewah/apartemen, di mana masyarakat atau wisatawan bersedia membayar iuran pengelolaan sampah yang lebih tinggi.

Berbeda dengan desa-desa yang kesulitan, bahkan untuk membayar iuran Rp 5.000 per bulan sekalipun.

Menuju Zero Waste at Source

Melihat realita ini, CARP mendesak adanya perubahan paradigma nasional yang fundamental, bukan sekadar perbaikan kecil.

Regulasi pengelolaan sampah UU No. 18/2008, PP No. 81/2012, dan UU No. 23/2014) dinilai sudah bagus, namun implementasinya terganjal paradigma lama yang berfokus pada "kumpul-angkut-timbun" yang hanya menciptakan gunung sampah seperti yang terjadi di TPA Bantar Gebang.

Oleh karena itu, CARP mengusulkan dua pilar perubahan:

Zero Waste at Source (Nihil Sampah di Sumber)

Sampah harus diselesaikan di sumbernya masing-masing, entah itu rumah tangga, pabrik, atau pasar.

Baca juga: Standar Adipura Dirombak, 50 Persen Ditentukan dari Pengelolaan Sampah

Hanya residu yang tidak bisa diolah yang dibawa ke TPS. Ini akan jauh lebih efisien, mengurangi biaya transportasi, kemacetan, dan pencemaran dari truk sampah.

Berbagi Tanggung Jawab

Pengelolaan sampah bukan hanya beban pemerintah. Masyarakat yang mampu harus mandiri dalam mengelola sampahnya.

Sementara untuk desa-desa yang kurang beruntung, pemerintah dan pihak lain perlu membantu dalam pengelolaan, namun masyarakat tetap harus bertanggung jawab memilah sampah dari sumbernya.

Contohnya, di Desa Padamukti, bahkan diterapkan sistem iuran progresif dan konsep "barter" tenaga dengan warga yang kurang mampu.

Harapan Baru dari "Living Lab" Citarum

Meskipun menghadapi tantangan, CARP di Desa Padamukti yang merupakan proyek percontohan, telah menunjukkan dampak positif.

Mereka berhasil membuktikan bahwa TPS 3R yang dikelola dengan standar operasional prosedur (SOP) yang benar tidak akan bau.

"Operator yang tadinya enggan bekerja di bidang sampah, kini memiliki kebanggaan (pride) atas pekerjaannya, bahkan salah satu operator menjadi pelopor desa yang mampu menjelaskan proyek kepada pengunjung asing," ungkap Peneliti UI Dwinanti Rika Marthanty.

TPS 3R di lokasi riset ini mulai mendapatkan penghasilan dari penjualan sampah plastik, budidaya belatung Black Soldier Fly (BSF), hingga panen kopi.

Baca juga: Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah

Ini memicu semangat dan antusiasme masyarakat, yang tadinya skeptis dan hanya menunggu bantuan dana.

Bahkan, hubungan antar instansi pemerintah daerah yang dulunya kurang harmonis, kini menjadi lebih kooperatif.

Rekomendasi kebijakan dari CARP telah didiskusikan dengan para pengambil keputusan, dan ada indikasi bahwa mereka mulai memahami pentingnya perubahan paradigma ini.

"Ini adalah langkah awal yang krusial. Jika paradigma zero waste at source dan tanggung jawab bersama ini bisa diterapkan secara nasional, kita bisa berharap tidak ada lagi sampah bertebaran di sungai, tidak ada lagi banjir, dan masyarakat Indonesia akan hidup lebih sehat dan sejahtera," pungkas Dwinanti.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dampak CO2 pada Pangan, Nutrisi Hilang dan Kalori Bertambah
Dampak CO2 pada Pangan, Nutrisi Hilang dan Kalori Bertambah
Swasta
Indonesia Disebut Terbelakang dalam Kebencanaan akibat Anggaran Terlalu Kecil
Indonesia Disebut Terbelakang dalam Kebencanaan akibat Anggaran Terlalu Kecil
LSM/Figur
Status Kawasan Hutan Bikin Ribuan Desa Tertinggal, Bisa Picu Konflik Agraria
Status Kawasan Hutan Bikin Ribuan Desa Tertinggal, Bisa Picu Konflik Agraria
Pemerintah
Pakar Tanyakan Alasan Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Korban Banjir Sumatera
Pakar Tanyakan Alasan Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Korban Banjir Sumatera
LSM/Figur
Peristiwa Langka, Beruang Kutub Betina Terekam Adopsi Anak Beruang Kutub Lain di Kanada
Peristiwa Langka, Beruang Kutub Betina Terekam Adopsi Anak Beruang Kutub Lain di Kanada
LSM/Figur
Menteri ATR Nusron Tahan 1,67 Juta Hektar HGU, Tawarkan 2 Skema Reforma Agraria
Menteri ATR Nusron Tahan 1,67 Juta Hektar HGU, Tawarkan 2 Skema Reforma Agraria
Pemerintah
PSN Papua, Menteri ATR Nusron Wahid Singgung Swasembada Pangan Butuh Perluasan Lahan
PSN Papua, Menteri ATR Nusron Wahid Singgung Swasembada Pangan Butuh Perluasan Lahan
Pemerintah
Hadapi Gelombang Panas Ekstrem, Spanyol Bangun Jaringan Penampungan
Hadapi Gelombang Panas Ekstrem, Spanyol Bangun Jaringan Penampungan
Pemerintah
Studi Sebut PLTB Lepas Pantai Tingkatkan Fungsi Ekologis Perairan Pesisir
Studi Sebut PLTB Lepas Pantai Tingkatkan Fungsi Ekologis Perairan Pesisir
Pemerintah
Peringatan Met Office: 2026 Diprediksi Jadi Tahun Terpanas
Peringatan Met Office: 2026 Diprediksi Jadi Tahun Terpanas
Pemerintah
3 Skenario ATR/BPN Selesaikan Lahan Masyarakat Diklaim Kawasan Hutan
3 Skenario ATR/BPN Selesaikan Lahan Masyarakat Diklaim Kawasan Hutan
Pemerintah
Jakarta Punya Pusat Daur Ulang Sampah, Kapasitasnya hingga 10 Ton
Jakarta Punya Pusat Daur Ulang Sampah, Kapasitasnya hingga 10 Ton
Pemerintah
Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Reproduksi di Asia
Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Reproduksi di Asia
Pemerintah
IESR: Penghentian Insentif Kendaraan Listrik Bisa Hilangkan Manfaat Ekonomi hingga Rp 544 Triliun
IESR: Penghentian Insentif Kendaraan Listrik Bisa Hilangkan Manfaat Ekonomi hingga Rp 544 Triliun
LSM/Figur
BMKG Prediksi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Indonesia Seminggu ke Depan
BMKG Prediksi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Indonesia Seminggu ke Depan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau