KOMPAS.com – Masalah sampah di Indonesia bak benang kusut yang tak kunjung terurai. Berbagai program diluncurkan, dana digelontorkan, namun tumpukan sampah masih menjadi pemandangan miris di banyak tempat.
Salah satu fakta paling mencengangkan yang diungkap oleh Citarum Action Research Project (CARP) adalah sekitar 90 persen dari total 3.779 Tempat Pengelolaan Sampah (TPS) 3R di seluruh Indonesia mangkrak.
Sebuah angka yang mencerminkan kegagalan sistematis dalam tata kelola persampahan kita.
Riset kolaboratif mendalam yang melibatkan Universitas Indonesia (UI), Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan, BSF, IPPIN-CSIRO, dan Monash University ini tidak hanya memaparkan data, tetapi juga menelanjangi akar penyebab kemangkrakan ini dan menawarkan paradigma baru yang holistik.
Baca juga: Kisah Alya Zahra, Mahasiswa yang Gencar Sulap Sampah Organik Jadi Kompos
Selama bertahun-tahun, upaya revitalisasi Sungai Citarum, misalnya, cenderung hanya berfokus pada aspek teknis.
Padahal, menurut Head of the Citarum Research Social Team Reni Suwarso, masalah utamanya adalah kegagalan tata kelola dan kurangnya pemahaman mendalam tentang aspek sosial.
"Hampir semua permasalahan Citarum disebabkan oleh perilaku manusia," ujar Reni menjawab Kompas.com, Kamis (24/7/2025).
Kebijakan top-down seperti Peraturan Presiden (PP) Nomor 15 Tahun 2018 yang membentuk Satgas Citarum pun terbukti sulit diimplementasikan karena kurangnya koordinasi dan pemahaman terhadap otonomi daerah serta realitas di lapangan.
Bahkan, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, Satgas Citarum tidak diperpanjang karena dianggap tidak efektif dan berakhir pada 31 Maret 2025.
Melalui pendekatan "laboratorium hidup" di sepanjang 2,3 Km Sungai Citarik, Kabupaten Bandung, tim CARP menemukan beberapa alasan krusial di balik mangkraknya TPS 3R.
Pertama, tidak ada dana operasional berkelanjutan. Pemerintah seringkali hanya membangun infrastruktur dan peralatan seadanya.
TPS 3R yang idealnya melayani minimal 400 Kepala Keluarga (KK), seringkali kekurangan peralatan dan operator.
Baca juga: Plastik Jadi Campuran Aspal, Usulan Dosen UGM Tanggulangi Sampah
"Dana operasional yang memadai untuk membayar listrik, bensin, room material, dan yang terpenting, gaji operator, seringkali luput dari perencanaan awal. Padahal, operator yang bekerja dari pagi hingga sore. Tidak bisa hanya mengandalkan sukarela," ungkap Reni.
Kedua, masalah gaji operator yang tersumbat aturan. Ini adalah salah satu gap terbesar. Dana desa, yang seharusnya bisa mendukung keberlanjutan program, tidak bisa digunakan untuk membayar gaji operator sampah karena mereka tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa.
"Akibatnya, sulit mencari tenaga kerja yang konsisten dan termotivasi," imbuh Reni.
Ketiga, model bisnis yang sulit bersaing. Slogan "sampah adalah cuan" ternyata tak seindah kenyataan di lapangan.
Baca juga: Cegah Banjir, Pemprov DKI Siagakan Pasukan Oranye untuk Angkut Sampah Sungai
Sampah yang memiliki nilai jual tinggi seperti botol plastik bersih, dan kertas karton bagus sudah dipungut oleh "pemulung" atau bahkan "mafia sampah" yang memiliki jaringan dan modal lebih kuat.
"Intinya adalah kami kalah bersaing dengan pebisnis-pebisnis sampah yang memang sudah menampung sampah mahal," jelas Reni.
Akibatnya, sampah yang sampai di TPS 3R seringkali adalah sampah residu yang tidak berharga seperti kantong kresek atau kaset.
Ini membuat TPS 3R sulit memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai operasionalnya sendiri.
TPS 3R yang berhasil umumnya berlokasi di dekat objek pariwisata atau perumahan mewah/apartemen, di mana masyarakat atau wisatawan bersedia membayar iuran pengelolaan sampah yang lebih tinggi.
Berbeda dengan desa-desa yang kesulitan, bahkan untuk membayar iuran Rp 5.000 per bulan sekalipun.
Melihat realita ini, CARP mendesak adanya perubahan paradigma nasional yang fundamental, bukan sekadar perbaikan kecil.
Regulasi pengelolaan sampah UU No. 18/2008, PP No. 81/2012, dan UU No. 23/2014) dinilai sudah bagus, namun implementasinya terganjal paradigma lama yang berfokus pada "kumpul-angkut-timbun" yang hanya menciptakan gunung sampah seperti yang terjadi di TPA Bantar Gebang.
Oleh karena itu, CARP mengusulkan dua pilar perubahan:
Zero Waste at Source (Nihil Sampah di Sumber)
Sampah harus diselesaikan di sumbernya masing-masing, entah itu rumah tangga, pabrik, atau pasar.
Baca juga: Standar Adipura Dirombak, 50 Persen Ditentukan dari Pengelolaan Sampah
Hanya residu yang tidak bisa diolah yang dibawa ke TPS. Ini akan jauh lebih efisien, mengurangi biaya transportasi, kemacetan, dan pencemaran dari truk sampah.
Berbagi Tanggung Jawab
Pengelolaan sampah bukan hanya beban pemerintah. Masyarakat yang mampu harus mandiri dalam mengelola sampahnya.
Sementara untuk desa-desa yang kurang beruntung, pemerintah dan pihak lain perlu membantu dalam pengelolaan, namun masyarakat tetap harus bertanggung jawab memilah sampah dari sumbernya.
Contohnya, di Desa Padamukti, bahkan diterapkan sistem iuran progresif dan konsep "barter" tenaga dengan warga yang kurang mampu.
Meskipun menghadapi tantangan, CARP di Desa Padamukti yang merupakan proyek percontohan, telah menunjukkan dampak positif.
Mereka berhasil membuktikan bahwa TPS 3R yang dikelola dengan standar operasional prosedur (SOP) yang benar tidak akan bau.
"Operator yang tadinya enggan bekerja di bidang sampah, kini memiliki kebanggaan (pride) atas pekerjaannya, bahkan salah satu operator menjadi pelopor desa yang mampu menjelaskan proyek kepada pengunjung asing," ungkap Peneliti UI Dwinanti Rika Marthanty.
TPS 3R di lokasi riset ini mulai mendapatkan penghasilan dari penjualan sampah plastik, budidaya belatung Black Soldier Fly (BSF), hingga panen kopi.
Baca juga: Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah
Ini memicu semangat dan antusiasme masyarakat, yang tadinya skeptis dan hanya menunggu bantuan dana.
Bahkan, hubungan antar instansi pemerintah daerah yang dulunya kurang harmonis, kini menjadi lebih kooperatif.
Rekomendasi kebijakan dari CARP telah didiskusikan dengan para pengambil keputusan, dan ada indikasi bahwa mereka mulai memahami pentingnya perubahan paradigma ini.
"Ini adalah langkah awal yang krusial. Jika paradigma zero waste at source dan tanggung jawab bersama ini bisa diterapkan secara nasional, kita bisa berharap tidak ada lagi sampah bertebaran di sungai, tidak ada lagi banjir, dan masyarakat Indonesia akan hidup lebih sehat dan sejahtera," pungkas Dwinanti.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya