KOMPAS.com - Kapasitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Korea Selatan diperkirakan bakal mencapai 29,8 GW pada tahun 2035, mencatat tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 2,4 persen selama periode 2024-2035.
Hal ini berdasarkan laporan terbaru dari perusahaan data dan analitik GlobalData, South Korea Power Market Outlook to 2035.
Korea Selatan sepenuhnya mengandalkan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan listriknya, karena negara ini tidak memiliki interkoneksi atau jaringan listrik yang terhubung dengan negara-negara tetangga dan tidak melakukan kegiatan impor atau ekspor listrik.
Kemampuan Korea Selatan untuk mengelola permintaan listrik dalam negeri tersebut disokong oleh infrastruktur pembangkit listrik tenaga nuklir yang besar.
Pada tahun 2022, negara ini membatalkan kebijakan untuk secara bertahap menghapus energi nuklir dan menjadikannya sebagai elemen penting dalam strategi energi mereka.
Dengan latar belakang ini, laporan GlobalData memprediksi kapasitas tenaga nuklir akan mencapai 29,8 GW pada tahun 2035.
Baca juga: Energi Nuklir Eropa Perlu Suntikan Dana Lebih dari 240 Miliar Euro
Melansir Power Engineering International, Rabu (6/8/2025), saat ini, Korea Selatan memiliki 25 reaktor aktif dan empat reaktor yang akan dibangun.
Tenaga nuklir berkontribusi memenuhi hampir sepertiga konsumsi listrik negara tersebut.
Ketergantungan Korea Selatan pada pembangkit listrik tenaga nuklir sempat menimbulkan masalah peningkatan biaya yang signifikan ketika dua dari 26 reaktor nuklirnya saat itu harus dimatikan pada November 2012. Pemadaman ini dilakukan setelah ditemukan komponen yang tidak memenuhi standar.
Dengan melonjaknya permintaan dan produksi listrik yang tidak mencukupi, negara tersebut menghadapi cadangan listrik (reserve margin) yang kurang dari 10 persen.
Selain nuklir, Korea Selatan juga tergantung pada pembangkit listrik tenaga panas (termal) untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik sangat menonjol.
Namun, Attaurrahman Ojindaram Saibasan, seorang analis senior bidang energi di GlobalData menambahkan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik tenaga panas tidak hanya meningkatkan emisi, tetapi juga, karena cadangan alam yang langka, mengharuskan impor batu bara dan gas yang mahal.
Baca juga: Demi AI, Meta Kontrak Pakai Nuklir dari Pembangkit yang Nyaris Tutup
"Korea Selatan adalah salah satu konsumen energi paling signifikan dan termasuk dalam daftar penghasil gas rumah kaca (GRK) terkemuka di dunia. Saat ini, negara tersebut menghadapi tantangan ganda: memperkuat ketahanan energi sekaligus mengurangi emisi karbon," katanya.
Sebuah target ambisius untuk meningkatkan kapasitas nuklir telah ditetapkan Korea Selatan melalui Rencana Dasar Ke-11 untuk Pasokan dan Permintaan Listrik Jangka Panjang.
Target tersebut akan dicapai dengan menaikkan pangsa pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi 35,2 persen pada tahun 2038. Rencana ini juga mencakup pembangunan tiga reaktor nuklir baru dan satu reaktor modular kecil (SMR) pada tahun 2038, yang secara keseluruhan akan menambah kapasitas daya sekitar 4,4 GW.
Lebih lanjut, Korea Selatan bercita-cita untuk memantapkan dirinya sebagai pengekspor energi nuklir terkemuka, dengan target mengamankan kontrak pembangunan 10 reaktor nuklir di luar negeri pada tahun 2030.
"Korea Selatan bermaksud memperluas kemampuan energi nuklirnya, sehingga memperkuat peran tenaga nuklir dalam portofolio energinya," kata Saibasan.
Namun, pemakzulan Presiden Yoon Suk-yeol pada April 2025 telah menimbulkan ketidakpastian atas kebijakan nuklir Korea Selatan. Potensi pembalikan atau modifikasi kebijakan membayangi, bergantung pada hasil pemilu mendatang.
Baca juga: Transisi Energi, Sektor Perkapalan Bisa Merugi 11 M Dollar AS
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya