Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dekarbonisasi Berpotensi Naikkan Angka Kemiskinan, Peneliti Desak Kebijakan Khusus

Kompas.com, 12 September 2025, 07:36 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Seiring dengan makin seringnya kejadian cuaca ekstrem dan menguatnya dampak perubahan iklim, negara-negara di seluruh dunia makin gencar dalam upaya dekarbonisasi.

Secara khusus, Perjanjian Paris 2016 mewakili upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu rata-rata global agar tetap jauh di bawah 2 derajat C.

Namun, kekhawatiran tentang biaya ekonomi dari transisi ini semakin meningkat.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa upaya mitigasi emisi gas rumah kaca yang ketat dapat menyebabkan kenaikan harga makanan dan energi, yang memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Sementara itu bagaimana mengatasi dampak sosial ini dalam konteks dekarbonisasi di seluruh lapisan masyarakat masih belum jelas.

Sebagai respons terhadap kekhawatiran tersebut, tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Shiya Zhao dari Universitas Kyoto dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) di Austria melakukan sebuah studi komprehensif untuk mengukur dampak dekarbonisasi.

Baca juga: Hidrogen Hijau Jadi Solusi Dekarbonisasi Industri di Negara Berkembang

Tujuan mereka adalah untuk mengarahkan perumusan kebijakan menuju jalur mitigasi perubahan iklim yang berkelanjutan dan adil.

"Efek samping yang tidak disengaja pada individu dan sistem yang rentan sering kali sulit dideteksi tanpa penelitian berbasis model," jelas Zhao dikutip dari Phys, Rabu (10/9/2025)

"Tim kami bertekad untuk berbagi wawasan ilmiah dengan masyarakat agar dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih adil dan efektif," katanya lagi.

Tim peneliti kemudian mengembangkan dua model simulasi sistem ekonomi-energi dan satu model simulasi pendapatan-pengeluaran rumah tangga. Tujuannya adalah untuk mengukur dampak dekarbonisasi global terhadap kemiskinan dan ketidaksetaraan di 180 negara.

Dengan menggunakan model-model tersebut, para peneliti menganalisis skenario di mana masyarakat tetap mengandalkan bahan bakar fosil, dan skenario di mana target dekarbonisasi mendalam berhasil dicapai.

Dalam skenario yang terakhir, mereka juga meneliti bagaimana pendapatan dari pajak karbon bisa dimanfaatkan untuk mengatasi dampak sosial.

Temuan tersebut mengungkapkan bahwa mendistribusikan kembali pendapatan domestik dari pajak karbon kepada kelompok berpendapatan rendah dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan di banyak negara. Namun, pendekatan ini saja tidak akan cukup.

Meskipun dekarbonisasi masyarakat adalah masalah yang mendesak, studi ini menunjukkan bahwa hal itu bisa memperburuk kemiskinan dan memperlebar ketidaksetaraan di beberapa negara berpendapatan rendah, jika kebijakan iklim tidak dirancang dan diterapkan dengan hati-hati.

India dan negara-negara lain di Asia, serta Afrika Sub-Sahara, tampaknya sangat rentan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau