KOMPAS.com - Seiring dengan makin seringnya kejadian cuaca ekstrem dan menguatnya dampak perubahan iklim, negara-negara di seluruh dunia makin gencar dalam upaya dekarbonisasi.
Secara khusus, Perjanjian Paris 2016 mewakili upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu rata-rata global agar tetap jauh di bawah 2 derajat C.
Namun, kekhawatiran tentang biaya ekonomi dari transisi ini semakin meningkat.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa upaya mitigasi emisi gas rumah kaca yang ketat dapat menyebabkan kenaikan harga makanan dan energi, yang memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Sementara itu bagaimana mengatasi dampak sosial ini dalam konteks dekarbonisasi di seluruh lapisan masyarakat masih belum jelas.
Sebagai respons terhadap kekhawatiran tersebut, tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Shiya Zhao dari Universitas Kyoto dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) di Austria melakukan sebuah studi komprehensif untuk mengukur dampak dekarbonisasi.
Baca juga: Hidrogen Hijau Jadi Solusi Dekarbonisasi Industri di Negara Berkembang
Tujuan mereka adalah untuk mengarahkan perumusan kebijakan menuju jalur mitigasi perubahan iklim yang berkelanjutan dan adil.
"Efek samping yang tidak disengaja pada individu dan sistem yang rentan sering kali sulit dideteksi tanpa penelitian berbasis model," jelas Zhao dikutip dari Phys, Rabu (10/9/2025)
"Tim kami bertekad untuk berbagi wawasan ilmiah dengan masyarakat agar dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih adil dan efektif," katanya lagi.
Tim peneliti kemudian mengembangkan dua model simulasi sistem ekonomi-energi dan satu model simulasi pendapatan-pengeluaran rumah tangga. Tujuannya adalah untuk mengukur dampak dekarbonisasi global terhadap kemiskinan dan ketidaksetaraan di 180 negara.
Dengan menggunakan model-model tersebut, para peneliti menganalisis skenario di mana masyarakat tetap mengandalkan bahan bakar fosil, dan skenario di mana target dekarbonisasi mendalam berhasil dicapai.
Dalam skenario yang terakhir, mereka juga meneliti bagaimana pendapatan dari pajak karbon bisa dimanfaatkan untuk mengatasi dampak sosial.
Temuan tersebut mengungkapkan bahwa mendistribusikan kembali pendapatan domestik dari pajak karbon kepada kelompok berpendapatan rendah dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan di banyak negara. Namun, pendekatan ini saja tidak akan cukup.
Meskipun dekarbonisasi masyarakat adalah masalah yang mendesak, studi ini menunjukkan bahwa hal itu bisa memperburuk kemiskinan dan memperlebar ketidaksetaraan di beberapa negara berpendapatan rendah, jika kebijakan iklim tidak dirancang dan diterapkan dengan hati-hati.
India dan negara-negara lain di Asia, serta Afrika Sub-Sahara, tampaknya sangat rentan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya