Oleh Muhammad Rayhan Sudrajat*
KOMPAS.com - Dapur sederhana di tepian sungai-sungai Kalimantan Tengah dahulu kerap dipenuhi aroma hangat masakan dari dedaunan hutan. Dua di antaranya adalah daun sungkai (Peronema canescens) dan teken parei (Helminthostachys zeylanica) yang memberikan rasa gurih pada masakan.
Jauh sebelum monosodium glutamat (MSG) memasuki Tanah Borneo, daun sungkai dan teken parei dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai penyedap rasa alami.
Sayangnya, penelitian saya (belum dipublikasikan) menemukan bahwa kehadiran produk penyedap rasa instan membuat eksistensi daun sungkai dan teken parei kian tersisih dan terlupakan.
Pada tahun 2021 dan 2025, saya mewawancarai tiga warga Kalimantan Tengah untuk menggali ingatan mereka soal daun sungkai dan teken parei.
Warga yang saya wawancarai mengatakan bahwa kedua daun ini memberikan rasa gurih alami serupa MSG ketika ditambahkan ke dalam masakan.
Baca juga: Laporan OECD: Tanpa Kebijakan Tegas, Asia Tenggara Bakal Alami Ledakan Sampah Plastik
Adapun daun teken parei menurut warga Palangka Raya bernama Yeri Sevina Genesis Luari (33 tahun), biasa digunakan sebagai penyedap masakan berkuah bercita rasa gurih-asam, seperti juhu singkah bawui (sayur umbut rotan dengan daging babi) atau juhu asem lauk patin (sayur terong asam dengan ikan patin).
Kini daun sungkai dan teken parei semakin sulit ditemui. Sungkai hanya bisa dijumpai di desa-desa tertentu (seperti di Desa Tumbang Lahang) sementara teken parei hanya tumbuh di musim hujan.
Tergerusnya kekayaan budaya lokal oleh invasi industri tidak hanya terjadi di Kalimantan. Di Afrika Barat, bumbu tradisional setempat yang lebih kompleks tergantikan oleh bouillon cube, penyedap rasa instan mirip MSG.
Dampaknya sama-sama menimbulkan penyeragaman rasa. Apa yang dulu beragam, unik, dan kaya, perlahan digantikan oleh standar tunggal yang seragam, instan, dan industrial.
Lebih dari itu, fenomena ini juga menghilangkan kedaulatan pangan masyarakat. Ketika rumah tangga sepenuhnya bergantung pada produk pabrikan, kendali atas selera dan bahan pangan berpindah ke industri global.
Melestarikan daun sungkai dan teken parei adalah upaya mengembalikan kendali tersebut.
Kita tentu tidak ingin suatu saat nanti berada di dalam situasi: tidak ada lagi aroma khas daun yang dipetik dari hutan, tidak ada lagi rahasia dapur yang diwariskan dari nenek ke cucu, tidak ada lagi kejutan rasa yang hanya bisa muncul dari sebuah ekosistem lokal.
Sungkai dan teken parei mengingatkan kita bahwa keberagaman rasa bukan sekadar soal lidah. Ia adalah bagian dari martabat manusia.
Melestarikan keduanya berarti menjaga relasi kita dengan alam, sejarah, maupun leluhur. Menjaganya berarti menolak lupa bahwa makanan bukan sekadar komoditas, tetapi jejak peradaban.
Baca juga: Pestisida Sintesis Ancam Anak dan Lingkungan, BRIN Sarankan yang Alami
Di balik daun sederhana yang direbus di dapur Suku Dayak, tersimpan arsip ingatan kolektif mengenai bagaimana sebuah komunitas memahami lingkungannya, menjaga kesehatannya, mengatur keseimbangan ekologi, serta membangun jati diri lewat rasa.
Itulah sebabnya, menjaga sungkai dan teken parei bukanlah nostalgia kekayaan lokal. Ia adalah tugas politik dan ekologis.
Dalam setiap helai daun yang mungkin terlihat sepele, ada pertanyaan besar: siapa yang mengendalikan selera kita, siapa yang menentukan apa yang kita makan, dan siapa yang diuntungkan ketika rasa kita diseragamkan?
Jika kita biarkan, penyeragaman rasa akan jadi penyeragaman pikiran. Di sanalah kolonialisme pangan berakar. Bukan lagi lewat senjata, tapi lewat penyedap rasa di dapur kita.
Para akademisi harus mendokumentasikan pengetahuan lokal ini sebelum hilang. Pemerintah perlu melindungi tanaman dan praktik kuliner lokal, bukan sekadar membiarkan industri pangan menguasai pasar.
Lembaga pendidikan perlu mengajarkan bahwa kedaulatan rasa sama pentingnya dengan kedaulatan politik.
Sementara kita sebagai konsumen, perlu berani bertanya: apa yang sebenarnya kita masukkan ke dalam tubuh setiap hari?
Pada akhirnya, menjaga keberagaman rasa adalah menjaga kebebasan kita sebagai manusia. Sebab, di balik setiap masakan yang berbeda, ada kebudayaan yang kaya, sehat, dan adil.
* Ethnomusicologist & Lecturer, Universitas Katolik Parahyangan
Baca juga: Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya