KOMPAS.com - Aktivitas manusia telah memperpanjang musim kebakaran hutan global rata-rata 40 hari, yang secara fundamental mengubah waktu terjadinya kebakaran di seluruh dunia.
Sebuah penelitian baru dari University of Tasmania, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Ecology & Evolution, menunjukkan bahwa lebih dari separuh total area yang terbakar kini terjadi di luar musim kebakaran alami, yaitu periode ketika petir dan kondisi kering secara alami bertepatan.
Melansir Phys, Senin (22/9/2025), studi tersebut menganalisis data kelembaban bahan bakar dan petir di lebih dari 700 wilayah ekologis di seluruh dunia.
Sebagai informasi kelembaban bahan bakar mengacu pada jumlah air yang terkandung dalam material yang bisa terbakar di alam, seperti rumput kering, daun-daun, ranting dan kayu.
Penelitian ini menemukan bahwa manusia telah mengubah waktu terjadinya kebakaran hutan di hampir setiap lingkungan di Bumi, mulai dari sabana tropis hingga hutan boreal dan bentang alam Mediterania.
Baca juga: 99.032 Hektare Hutan dan Lahan Kebakaran, Terbanyak di NTT dan Sumut
"Sebelum manusia mulai memengaruhi, kebakaran hutan sebagian besar terjadi ketika petir menyambar di saat kondisi kering," kata Penulis utama studi, Dr. Todd Ellis, seorang Asisten Peneliti dalam bidang Physical Pyrogeography di University of Tasmania.
"Studi kami memisahkan musim kebakaran alami dari musim kebakaran yang disebabkan oleh manusia. Ini menunjukkan seberapa besar pengaruh manusia telah mengubah waktu terjadinya kebakaran hutan di seluruh dunia," jelasnya lagi.
Perubahan yang paling dramatis terjadi di padang rumput tropis. Di sana, manusia secara efektif telah memperpanjang musim kebakaran hutan sekitar tiga bulan, dengan sebagian besar kebakaran sekarang terjadi dalam rentang waktu yang didorong oleh aktivitas manusia ini.
Bahkan hutan boreal dan tundra yang terpencil sekalipun mulai mengalami musim kebakaran yang lebih panjang, melampaui batas waktu yang memungkinkan terjadinya penyalaan api secara alami oleh petir.
Pergeseran global dalam musim kebakaran hutan ini menimbulkan risiko ekologis yang signifikan.
Spesies-spesies telah berevolusi selama ribuan tahun untuk beradaptasi dengan kebakaran hutan yang terjadi pada periode musiman tertentu.
Ketika kebakaran hutan terjadi di luar periode alami ini, ekosistem akan menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca juga: Kebakaran Lahan Gambut Akibat El Nino Bisa Terulang pada 2027
"Kami tidak hanya melihat lebih banyak kebakaran hutan dan dengan intensitas yang lebih besar, tetapi kami juga melihatnya terjadi pada waktu-waktu dalam setahun di mana ekosistem belum berevolusi untuk bisa mengatasinya, " terang penulis pendamping studi, Dr. Grant Williamson.
Ketidakcocokan waktu ini kemudian dapat menghambat pemulihan spesies dan mengganggu proses reproduksi, yang seringkali sangat erat kaitannya dengan musim tertentu. Hal ini mengancam keanekaragaman hayati dengan cara yang baru mulai kita pahami.
Riset tersebut menemukan bahwa beberapa pengaruh manusia seperti pembakaran untuk pertanian, pembukaan lahan, kemudian diperburuk oleh perubahan iklim.
Peningkatan suhu dan kondisi yang lebih kering memperluas rentang waktu di mana kebakaran hutan akibat ulah manusia dapat menyala dan menyebar, berpotensi menciptakan musim kebakaran sepanjang tahun di beberapa wilayah.
"Temuan ini menggarisbawahi bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar untuk mengelola api secara berkelanjutan, dan kita bisa belajar banyak dari masyarakat adat yang menggunakan api sebagai bagian dari budaya," tambah penulis pendamping, Profesor David Bowman, dari Pusat Kebakaran University of Tasmania di School of Natural Sciences.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Rugikan Produktivitas Global Hingga 1,5 Triliun Dolar AS
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya