KOMPAS.com - Laporan dari BloombergNEF (BNEF) menunjukkan bahwa kerugian ekonomi global akibat bencana terkait iklim mencapai setidaknya 1,4 triliun dolar AS di tahun 2024.
Angka ini melonjak 10 kali lipat dibandingkan kerugian di awal tahun 2000-an.
Kenaikan biaya ini bertepatan dengan publikasi studi lain yang memberikan peringatan bahwa dunia kemungkinan besar telah mencapai 'titik kritis iklim' pertama yang meningkatkan potensi hilangnya terumbu karang secara permanen dan tidak dapat dipulihkan.
Dalam laporannya, BloombergNEF juga secara terperinci mencermati tingkat kesiapan negara-negara yang tergabung dalam G20 serta sejumlah negara Asia Tenggara yang terpilih karena peran krusial mereka dalam rantai pasokan dunia.
Melansir Know ESG, Selasa (14/10/2025), negara-negara seperti Kanada, Singapura, Korea Selatan, Australia, Inggris, dan Jepang telah memperkuat kerangka kerja mereka agar lebih siap dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Baca juga: Riset: Mayoritas Perusahaan Bangun Proyek Baru di Lokasi yang Rentan Bencana Iklim
Rencana yang mereka terapkan meliputi perlindungan infrastruktur, evaluasi risiko di berbagai sektor, dan langkah-langkah untuk menjaga industri yang paling rentan.
Berbeda dengan negara maju lainnya, Amerika Serikat berada di peringkat ke-12 dari 25 negara. Posisi tersebut terbilang rendah mengingat negara tersebut menanggung kerugian finansial terbesar akibat krisis iklim.
AS sendiri telah menggelontorkan investasi besar untuk membangun sistem pertahanan teknis terhadap bencana banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Meskipun telah berinvestasi besar, kebijakan adaptasi di tingkat federal AS masih belum setara dengan banyak negara maju lainnya. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa beberapa program mitigasi yang sedang berjalan mungkin akan dibatalkan atau dikurangi oleh pemerintahan Trump.
Sebaliknya, Arab Saudi, Rusia, dan Thailand berada di urutan paling bawah dalam peringkat menghadapi dampak perubahan iklim.
Laporan BNEF menyoroti bahwa negara-negara tersebut belum menerapkan kebijakan adaptasi iklim di tingkat nasional atau sangat minim dalam memublikasikan informasi tentang langkah-langkah yang sudah diambil.
Danya Liu, analis utama di divisi Adaptasi Iklim BNEF, mengatakan bahwa investor kini lebih fokus mengevaluasi strategi adaptasi iklim.
Ia menambahkan bahwa negara yang memiliki rencana adaptasi yang matang dan kuat cenderung mengalami kerugian yang lebih kecil akibat iklim dan lebih berpotensi menarik investasi.
Laporan menunjukkan beberapa keuntungan ekonomi yang terkait dengan langkah-langkah adaptasi seperti misalnya berkurangnya paparan terhadap kerusakan fisik, kinerja yang lebih kuat di sektor-sektor yang sensitif terhadap iklim seperti pertanian, persepsi risiko yang lebih rendah di kalangan pemodal, dan pertumbuhan pasar adaptasi yang baru.
Terlepas dari berbagai manfaat yang ada, mayoritas pemerintah di dunia masih minim dalam mengalokasikan dana untuk ketahanan iklim.
Baca juga: Negara Pulau Kecil Perlu 12 Miliar Dolar AS per Tahun untuk Hadapi Perubahan Iklim
Bahkan di negara-negara yang kebijakannya dianggap maju, seperti Inggris, masalah perlindungan banjir belum optimal dan kerentanan-kerentanan lain yang masih ada.
PBB mengimbau seluruh pemerintah di dunia agar memantapkan rencana adaptasi iklim nasional mereka dan meningkatkan alokasi dana iklim bagi negara-negara dengan ekonomi berkembang.
Menurut Kobad Bhavnagri, Kepala Strategi BNEF, banyak negara berekonomi besar dinilai belum mengambil langkah yang cukup untuk menjaga stabilitas ekonomi dari dampak iklim.
Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran di kalangan pebisnis dan investor yang menanamkan modal di negara-negara tersebut.
Hal itu terungkap dari Laporan Risiko Masa Depan 2025 dari AXA dan kolaborasi dengan Ipsos.
Laporan ini mengungkapkan adanya kekhawatiran yang masif, baik dari pakar maupun publik. Secara spesifik, 95 persen pakar dan 93 persen dari populasi umum merasa bahwa frekuensi krisis global telah meningkat drastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Perubahan iklim diidentifikasi sebagai risiko paling mengkhawatirkan pada tahun 2025, disusul oleh ketidakstabilan geopolitik, ancaman keamanan siber, dan kecerdasan buatan.
Masalah lingkungan lain seperti krisis keamanan sumber daya, hilangnya keanekaragaman hayati, dan risiko energi juga mendapat perhatian besar dalam laporan tersebut.
Baca juga: Wamen LH: Banyak Janji Pendanaan Iklim dari Negara Maju Tanpa Realisasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya