Dalam dokumen rencana investasi JETP atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), sebagian besar dana baru akan cair setelah proyek memenuhi syarat teknis dan reformasi kebijakan tertentu.
Artinya, Indonesia tidak serta-merta menerima 20 miliar dolar AS. Dana itu datang dengan prasyarat kebijakan dan tata kelola yang harus dinegosiasikan.
Transisi energi di sini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga politik pendanaan global. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa beralih dari ketergantungan pada batu bara menuju ketergantungan baru pada pinjaman hijau dari luar negeri. Transisi bisa berubah menjadi transaksi.
Transisi energi membutuhkan biaya besar. Bappenas memperkirakan, untuk mencapai net zero emission pada 2060, Indonesia membutuhkan investasi lebih dari 500 miliar dollar AS di sektor energi saja. Pertanyaannya: dari mana uang sebanyak itu akan datang?
Saat ini, penerimaan negara masih sangat bergantung pada pajak dan royalti energi fosil. Pada 2023, penerimaan dari batu bara mencapai lebih dari Rp 100 triliun.
Jika sumber ini berkurang, sementara pendapatan baru dari pajak karbon belum signifikan, maka ruang fiskal negara bisa menyempit.
Reformasi fiskal hijau menjadi mutlak. Pemerintah perlu mengalihkan sebagian subsidi energi fosil—yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun—ke insentif bagi energi terbarukan dan inovasi rendah karbon. Tanpa keberanian mengubah arah fiskal, transisi hijau hanya akan menjadi slogan.
Namun, kedaulatan energi tidak hanya bergantung pada pusat. Transisi yang berdaulat harus tumbuh dari bawah—dari desa, kabupaten, hingga provinsi.
Langkah menuju ke sana mulai terlihat melalui Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada Subbidang Energi Baru Terbarukan.
Perpres ini memberi kewenangan nyata kepada pemerintah provinsi untuk mengelola penyediaan dan pemanfaatan biomassa, biogas, tenaga surya, angin, air, dan gerakan laut di wilayahnya.
Provinsi juga berhak melaksanakan konservasi energi serta membina dan mengawasi pelaksanaannya.
Kebijakan ini bisa menjadi tonggak penting desentralisasi energi hijau. Daerah tidak lagi sekadar menjadi penerima proyek pusat, tetapi menjadi pelaku langsung yang menyesuaikan transisi energi dengan potensi dan kondisi lokalnya.
Bayangkan jika Papua Barat mengembangkan tenaga air dan bioenergi, Nusa Tenggara memaksimalkan tenaga surya, dan Sulawesi menggerakkan industri nikel hijau berbasis energi bersih.
Namun, regulasi tanpa kapasitas dan pembiayaan akan berakhir sebagai janji kosong. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa transfer fiskal dan investasi publik diarahkan untuk memperkuat kemampuan daerah mengelola proyek energi bersih.
Dengan demikian, transisi energi dapat menjadi sarana pemerataan pembangunan, bukan sekadar proyek hijau di atas kertas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya