Kedaulatan fiskal dan desentralisasi energi adalah dua sisi dari kemandirian yang sama: memastikan transisi hijau berpihak pada rakyat, bukan hanya pada investor.
Selain JETP dan desentralisasi energi, Indonesia juga tengah membangun pasar karbon nasional.
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022 menjadi dasar bagi sistem perdagangan karbon dalam negeri.
Melalui Sistem Registri Nasional (SRN) dan IDXCarbon, dunia usaha dapat memperdagangkan sertifikat pengurangan emisi atau carbon credit.
Potensi ekonominya besar, bahkan mencapai miliaran dolar AS per tahun dari sektor kehutanan dan energi.
Namun, di balik peluang itu tersimpan risiko baru. Pasar karbon global masih dikuasai lembaga verifikasi dan sertifikasi dari negara maju.
Standar mereka menentukan nilai jual karbon kita. Jika sistem nasional tidak kuat, Indonesia hanya akan menjadi “penyedia stok” karbon murah bagi pasar internasional.
Kedaulatan ekonomi menuntut kedaulatan data dan verifikasi. Pemerintah harus memastikan sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV) dikendalikan oleh lembaga nasional, bukan korporasi asing.
Sebab karbon bukan sekadar angka di bursa; ia adalah wujud dari pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup bangsa.
Sementara itu, politik iklim global semakin keras. Uni Eropa telah memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mengenakan tarif impor tambahan pada produk dengan jejak emisi tinggi.
Amerika Serikat menggelontorkan subsidi besar bagi industri hijau melalui Inflation Reduction Act. Sementara China memperluas pasar kredit karbon domestiknya.
Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Kita harus berdiplomasi agar kebijakan global tidak menjadi hambatan baru bagi ekspor dan pembangunan nasional. Diplomasi iklim kini bukan sekadar forum sopan-santun, melainkan arena perjuangan ekonomi.
Indonesia punya modal besar: hutan tropis, cadangan nikel terbesar di dunia, dan pasar energi yang sedang tumbuh.
Jika dikelola dengan bijak, transisi energi bisa menjadi momentum kemandirian baru. Namun, jika tidak, kita hanya akan menyaksikan episode lama dalam bungkus baru—eksploitasi sumber daya dengan nama “transisi hijau.”
Arah transisi energi Indonesia pada akhirnya akan ditentukan oleh satu hal: keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan nasional.
Bukan sekadar mengejar reputasi hijau di panggung global, tetapi membangun sistem energi yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan.
Kedaulatan energi berarti berani menolak dikte pasar, tapi tetap terbuka terhadap kerja sama yang saling menguntungkan. Ia berarti menjadikan energi bersih bukan sekadar simbol politik, tetapi hak rakyat untuk hidup lebih baik.
Indonesia telah memulai perjalanan panjang menuju masa depan rendah karbon. Jalan itu tidak mudah. Namun, seperti sejarah yang pernah membuktikan, kemandirian sejati selalu lahir dari keberanian menempuh jalan yang sulit—dan kini, jalan itu berwarna hijau.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya