KOMPAS.com - Mayoritas negara anggota Organisasi Maritim Internasional (IMO) memutuskan untuk menangguhkan penerapan harga karbon global bagi sektor pelayaran internasional selama satu tahun pada Jumat, (17/10/2025).
Penundaan ini terjadi setelah adanya tekanan dari Amerika Serikat yang mengakibatkan gagalnya pencapaian konsensus mengenai kebijakan pengurangan emisi tersebut.
Penundaan keputusan ini dianggap sebagai kemunduran besar bagi Uni Eropa dan negara-negara lain, seperti Brasil, yang selama ini gencar mendesak agar industri pelayaran segera beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan dan membuat skema harga karbon untuk mencapai target net-zero emissions.
Melansir Reuters, Sabtu (18/10/2025) Amerika Serikat dan Arab Saudi, yang merupakan dua negara produsen minyak terbesar di dunia, menunjukkan penolakan keras terhadap proposal penetapan harga karbon untuk industri perkapalan dalam pertemuan IMO di London.
Setelah melalui kebuntuan selama beberapa hari, Arab Saudi mengajukan mosi pada Jumat pekan lalu untuk menunda pembahasan harga karbon selama 1 tahun.
Baca juga: Industri Pelayaran Terancam Gagal Capai Target Bahan Bakar Bersih 2030
Mosi ini disetujui oleh mayoritas sederhana di mana diterima oleh 57 negara, dan ditentang oleh 49 negara yang ingin melanjutkan negosiasi.
Meskipun China, Yunani, Siprus, Jepang, dan Korea Selatan pada bulan April sempat mendukung penetapan harga karbon, dalam pemungutan suara Jumat itu, China berbalik mendukung penundaan, sementara negara-negara Asia dan Eropa lainnya memilih abstain.
Bahkan jika konsensus tercapai tahun depan, belum ada kejelasan kapan skema harga karbon ini akan diimplementasikan secara efektif, mengingat IMO sendiri telah merencanakan bahwa pembayaran emisi oleh kapal baru akan dimulai paling cepat tahun 2028.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya juga mendesak negara-negara anggota IMO untuk menolak mosi tersebut, dengan menyatakan di platform Truth Social-nya bahwa pemerintahannya tidak akan mengizinkan dan tidak akan mematuhi sedikit pun pajak baru berkedok skema hijau global yang diberlakukan pada industri pelayaran.
Hal ini sejalan dengan ambisi Pemerintahan Trump untuk memperkuat pengaruh dalam pelayaran internasional, mengingat mereka sebelumnya memang sering menggunakan kebijakan tarif sebagai alat tekan untuk mendapatkan kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan dari negara mitra.
Lebih lanjut, industri maritim sebenarnya sudah menantikan adanya kerangka regulasi yang mampu meminimalisir risiko dan mendorong investasi besar pada bahan bakar bersih dan teknologi kapal modern.
Baca juga: PBB Ingin Kapal Nol Emisi, AS Hadang dengan Ancaman bagi Pendukungnya
Perusahaan pelayaran Denmark, Maersk, menanggapi bahwa penundaan oleh IMO adalah kemunduran dalam momentum dekarbonisasi industri. Mereka menyatakan akan menunggu dan melihat bagaimana IMO akan melanjutkan penyusunan kerangka kerja regulasi tersebut.
"Penundaan ini membuat sektor pelayaran terombang-ambing dalam ketidakpastian," kata Faig Abbasov, Direktur Pelayaran dari kelompok lingkungan Transport & Environment.
Sektor pelayaran global saat ini menyumbang hampir 3 persen dari total emisi karbon dioksida (CO2) dunia.
Mengingat sekitar 90 persen perdagangan global diangkut melalui laut, emisi dari sektor ini diperkirakan akan melonjak drastis jika tidak segera ada kesepakatan regulasi yang mengikat.
Sementara itu IMO yang memiliki 176 negara anggota, bertugas meregulasi keamanan dan keselamatan pelayaran internasional sekaligus mengupayakan pencegahan polusi laut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya