SELAMA ini kita terbiasa menyalahkan asap kendaraan bermotor sebagai penyebab utama polusi dan perubahan iklim.
Knalpot dianggap sumber segala dosa karbon. Setiap hari, kita melihat asap pekat di jalan raya dan menganggap di situlah pusat masalah lingkungan kita.
Namun, ada sumber emisi lain yang jauh lebih sunyi, tak berasap, tak berisik, tapi sesungguhnya lebih besar dampaknya: listrik dari PLN.
Setiap kali kita menyalakan lampu, menyalakan pendingin ruangan, memutar laptop, atau mengisi daya ponsel, di balik aliran listrik itu ada jejak karbon yang tak terlihat.
Sekitar 60 persen listrik Indonesia masih dihasilkan dari pembakaran batu bara, dan sisanya dari gas alam, diesel, serta sebagian kecil energi terbarukan seperti PLTA, PLTS, dan PLTB.
Artinya, setiap satu kilowatt jam (kWh) listrik yang kita pakai rata-rata melepaskan 0,8 kilogram CO2 ke atmosfer.
Sebagai perbandingan, kendaraan bermotor mengeluarkan sekitar 2,4 kilogram CO2 per liter bensin. Namun, konsumsi listrik jauh lebih besar dan berlangsung terus-menerus.
Baca juga: Purbaya dan Rayuan Partai Politik
Sebuah gedung perkantoran menengah, misalnya, bisa mengonsumsi 240.000 kWh listrik per tahun—setara dengan emisi hampir 200 ton CO2, jauh lebih besar dari emisi seluruh kendaraan operasional kantor yang mungkin hanya sekitar 10–15 ton CO2 per tahun.
Dengan kata lain, emisi dari colokan bisa 10–15 kali lebih besar daripada dari knalpot.
Ironisnya, masyarakat lebih mudah menyalahkan polusi yang terlihat di jalan ketimbang emisi yang tersembunyi di stopkontak rumah dan kantor. Padahal, justru sektor kelistrikanlah yang paling berat dalam beban karbon nasional.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara masih mendominasi pasokan listrik nasional. Selama sistem energi kita masih ditopang batu bara, setiap perangkat elektronik yang kita nyalakan sesungguhnya ikut memanaskan bumi.
Namun, situasinya tidak sama di semua daerah. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera Barat, listrik PLN banyak bersumber dari pembangkit tenaga air (PLTA) Maninjau, Singkarak, dan Batang Agam.
Di wilayah ini, jejak karbon listrik jauh lebih rendah karena PLTA hampir tidak menghasilkan emisi langsung dari proses pembangkitannya. Listrik dari PLTA hanya meninggalkan sekitar 0,05 kilogram CO2 per kWh, atau 16 kali lebih bersih dibanding listrik dari batu bara.
Selain PLTA, sumber energi bersih lain yang juga penting adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal).
Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, dan listrik dari geotermal menghasilkan emisi yang sangat kecil—hanya sekitar 0,04–0,06 kilogram CO2 per kWh. Ini berarti hampir setara bersihnya dengan PLTA.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya