Oleh Fikri Muhammad* dan Dinda Ayu Maharani**
KOMPAS.com - Di Indonesia, industri nikel banyak mendapat kritikan dan sentimen negatif. Industri tambang ini acap dianggap berdampak buruk terhadap lingkungan mulai dari deforestasi, polusi air-udara, emisi karbon tinggi karena mengkonsumsi energi batu bara, hingga isu sosial seperti konflik lahan dan pelanggaran hak masyarakat di sekitar tambang.
Semua itu berujung pada masifnya penolakan terhadap industri nikel sekaligus kendaraan listrik. Sebab, keduanya dianggap identik.
Padahal, industri nikel tidak melulu soal baterai kendaraan listik. Nyatanya, mayoritas olahan nikel nasional justru ditujukan untuk stainless steel atau baja tahan karat.
Oleh karenanya, fokus kita seharusnya adalah memperbaiki praktik tambang dan industri nikel, bukan malah asal menolak pengembangan mobil listrik/ electric vehicle (EV) beserta komponen turunan termasuk baterainya.
Lewat tulisan ini, studi kami membedah empat poin penting miskonsepsi seputar nikel dan kendaraan listrik di Indonesia.
Hilirisasi nikel di Indonesia sebenarnya sudah berjalan sejak 2012 untuk memenuhi permintaan stainless steel.
Pemerintah baru memulai hilirisasi nikel untuk EV dan baterai pada 2017. Hasilnya hilirisasi nikel berkembang pesat di tahun 2021 seiring dengan booming EV.
Ada dua jenis bijih nikel di Indonesia: saprolit dan limonit.
Indonesia memiliki 46 smelter RKEF untuk produksi stainless steel dan hanya 7 pabrik HPAL untuk baterai.
Jadi, faktanya saat ini mayoritas nikel Indonesia diproduksi untuk baja tahan karat, bukan baterai kendaraan listrik. Meski, ekspansi nikel untuk baterai masih terus dilakukan.
Dampak lingkungan dari dua teknologi pengolahan nikel tersebut juga berbeda. RKEF merupakan teknologi boros energi karena proses pirometalurgi membutuhkan temperatur yang tinggi. Teknologi ini menghasilkan emisi karbon tiga kali lebih besar dari HPAL.
Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik
Sedangkan, teknologi HPAL memang lebih hemat energi, akan tetapi membutuhkan material yang lebih banyak sehingga menghasilkan limbah yang lebih besar pula. Keduanya menimbulkan masalah yang berbeda dengan metode penanggulangan yang berbeda.
Perbedaan ini perlu dicermati oleh masyarakat dan lembaga advokasi agar tidak menyamakan seluruh dampak tambang nikel dengan industri EV.
Hal ini penting untuk menghindari delegitimasi baterai, baik untuk kendaraan listrik (EV) maupun sistem penyimpanan energi (Battery Energy Storage System/BESS), yang merupakan komponen penting dalam transisi energi.
Kendaraan listrik di dunia hingga saat ini menggunakan dua jenis baterai utama:
Tren global saat ini bergerak menuju baterai LFP yang tidak membutuhkan nikel sama sekali. Sementara Indonesia masih mengandalkan tambang nikel.
Jika Indonesia berkukuh ingin unggul di industri baterai, riset dan pengembangan terhadap NMC seharusnya diperkuat, bukan hanya mengandalkan bahan mentah.
Namun kenyataannya, analisis kami menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah juga tidak memberikan dukungan yang cukup untuk penelitian dan pengembangan baterai NMC.
Sebaliknya, kebijakan insentif dan fiskal malah lebih mendorong Indonesia menggunakan teknologi baterai LFP dari negara lain, terutama Cina.
Pasar kendaraan listrik domestik saat ini pun cenderung lebih tertarik pada kendaraan listrik berbasis LFP, layaknya tren global.
Dengan fokus yang terlalu sempit pada baterai berbasis nikel, Indonesia berisiko tertinggal dalam industri baterai dan EV dunia.
Produksi jadi mobil listrik memang bebas emisi di jalan. Tapi belum tentu lebih ramah lingkungan secara keseluruhan dibandingkan kendaraan konvensional. Semua tergantung dari bagaimana kendaraan tersebut diproduksi dan sumber energi yang menggerakkannya.
Riset di Uni Eropa (2020) menunjukan produksi kendaraan listrik sangat padat karbon, terutama pada komponen baterai yang menyumbang sampai 50% dari seluruh proses pembuatan mobil.
Belum lagi proses penambangan dan pengolahan mineral untuk baterai juga menghasilkan emisi serta dampak lingkungan lain.
Dalam fase penggunaannya, emisi kendaraan listrik bergantung pada sumber energi yang menggerakannya. Penelitian yang sama membuktikan bahwa manfaat kendaraan listrik baru maksimal jika tenaga yang menggerakkannya berasal dari energi terbarukan.
Sementara di Indonesia, jaringan listrik saat ini masih didominasi pembangkit batu bara (sekitar 50%) serta gas dan diesel (30%).
Jadi, dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan merupakan prasyarat utama agar kendaraan listrik benar-benar berdampak positif bagi iklim.
Dalam hal ini pun, baterai LFP lebih menarik untuk dikembangkan karena bisa sekaligus digunakan untuk sistem penyimpanan energi (BESS). Baterai dapat menyimpan listrik dari sumber terbarukan seperti angin dan matahari—yang sifatnya tidak stabil.
Secara garis besar, hasil temuan kami merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali strategi dalam pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik di negara ini.
Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan antara lain:
Hanya dengan menjalankan seluruh langkah di atas, rantai pasok kendaraan listrik bisa benar-benar berkelanjutan dan mendapatkan dukungan masyarakat.
* Senior Analyst Climateworks
** Analyst Climateworks
Baca juga: Hanya Sedikit Orang Indonesia Beli Mobil Listrik Demi Atasi Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama akun kamu.