JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia disebut tidak akan impor beras untuk kebutuhan konsumsi atau industri. Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan menyatakan, semua kebutuhan beras akan dipenuhi dari produksi dalam negeri.
"Kita semuanya bisa swasembada," kata Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan Kemenko Pangan, Tatang Yuliono, dilansir dari Antara, Selasa (16/12/2025).
Baca juga:
Kebijakan swasembada pangan diputuskan usai rapat koordinasi tingkat menteri di kantor Kementerian Koordinator Pangan, Selasa (16/12/2025). Rapat itu dihadiri Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan Budi Santoso, dan Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyasantiserta, dan jajaran eselon kementerian.
Kementerian Perindustrian sebenarnya mengajukan impor sebanyak 380.952 ton beras industri untuk tahun 2026. Namun, pengajuan itu ditolak dalam rapat karena Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan beras industri untuk 2026.
"Jadi ada usulan untuk beras industri 380.952 ton, kemudian kita tidak berikan untuk importasinya, kita akan penuhi dari dalam negeri," kata Tatang.
Selain kebutuhan industri, Indonesia menutup keran impor untuk beras konsumsi. Bahkan, kebijakan swasembada berlaku pula untuk zona perdagangan bebas, seperti di Sabang, Aceh.
Indonesia tak akan impor beras konsumsi dann industri. Pemerintah diimbau memperhatikan berbagai aspek agar tidak membebani rakyat.Menanggapi hal tersebut, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, pelaksanaan larangan impor perlu mempertimbangkan berbagai aspek. Khususnya, kebutuhan beras spesifik yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Jenis beras spesifik dengan kandungan nutrisi dan gizi tertentu, seperti Basmati, yang produksinya sangat minim atau bahkan tidak ada di dalam negeri, menjadi tantangan tersendiri.
Jenis beras spesifik tersebut biasanya diimpor untuk memenuhi baik keperluan industri maupun kepentingan komersial, seperti restoran.
"Sebuah ide bahwa kita perlu swasembada 100 persen memang hal yang baik, tapi kan perlu realisasi juga ya. Apakah bisa disubstitusi oleh produksi dalam negeri itu. Tentu harus cukup proporsional, dalam arti kalau memang yang diproduksi dalam negeri kan sebagian besar beras untuk konsumsi umum ya, bukan beras-beras yang specialty rice, beras-beras khusus yang tadi kita kategorikan," ujar Said kepada Kompas.com, Kamis (18/12/2025).
Baca juga:
Larangan untuk semua jenis beras harus diiringi dengan ketersediaan pasokan penggantinya di dalam negeri. Larangan impor memang menjadi logis jika stok beras di dalam negeri melimpah.
Akan tetapi, Bulog pernah mencetak rekor cadangan beras tertinggi sepanjang sejarah beberapa bulan lalu, yang ternyata pada saat bersamaan harganya justru naik atau tetap tinggi.
Said mengingatkan pemerintah untuk memastikan ketersediaan stok pangan dan mengendalikan harga beras agar tidak membebani masyarakat.
"Jangan sampai ketika stok kurang, kemudian permintaan tetap tinggi, yang terjadi, mengulang apa yang sekarang ada ya, dari akhir tahun lalu sampai satu bulan lalu, saya kira, atau sampai sekarang pun kan harga beras masih tetap lebih tinggi dibanding apa? Year on year tahun 2023, 2024, masih lebih tinggi," ucap Said.
Indonesia tak akan impor beras konsumsi dann industri. Pemerintah diimbau memperhatikan berbagai aspek agar tidak membebani rakyat.Berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada akhir tahun 2025 hingga awal 2025 terjadi fenomena La Nina yang meningkatkan curah hujan di Indonesia.
Jika perkiraan BMKG benar, sentra-sentra produksi padi, terutama di Jawa, diprediksi mengalami kebanjiran. Hal ini berkaca dari pengalaman masa lalu, yang mana banjir merusak area persawahan dan menurunkan produksi secara signifikan.
Said meminta pemerintah untuk mengambil langkah antisipatif guna menjaga ketahanan pangan nasional. Banjir akan menurunkan kualitas gabah, yang berdampak pada hasil panen.
Ia menggarisbawahi pentingnya pemerintah membantu menyediakan fasilitas pengeringan gabah dan penggilingan di tingkat petani, serta memperkuat infrastruktur penyimpanan Bulog.
"Fasilitasi infrastrukturnya di gapoktan-gapoktan mungkin ya, pengeringan, mesin pengeringan mini misalnya seperti itu. Karena kalau enggak, kualitasnya rusak ya, susah juga atau Bulog menyediakan lebih banyak infrastruktur, tidak hanya gudang penyimpanan ya, tapi juga saya pengeringan sehingga petani juga bisa terbantu," ujar Said.
Baca juga:
Selain potensi banjir, musim kemarau yang terjadi pada periode Mei 2026 hingga Agustus 2026 juga menjadi tantangan lain.
Produksi padi pada musim kedua tersebut umumnya lebih rendah dibandingkan musim pertama (November 2025-April 2026), dengan penurunan yang bisa mencapai 10-15 persen.
Menurut Said, hal itu perlu menjadi perhatian serius, terutama mengingat peningkatan konsumsi pangan seiring dengan program-program pemerintah seperti makan bergizi gratis (MBG).
"Terbatasnya karena mulai masuk musim hujan, apalagi kalau seperti kasus di sekarang ya, di mana, di Sumatera, ketika bencana, akses terputus, ke sumber-sumber, ke sentra-sentra produksi, terhambat itu juga jadi problem yang perlu diperhatikan," tutur Said.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya