LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Lahirnya Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran dianggap sebagai angin segar dan kemenangan monumental.
Hal ini karena negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Vietnam, dan Filipina merupakan pemasok awak kapal perikanan (AKP) migran terbesar untuk industri perikanan global.
Deklarasi tersebut diadopsi oleh para pemimpin ASEAN pada 10 Mei 2023 dalam rangkaian KTT ke-42 ASEAN yang diadakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Senior Oceans Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution, deklarasi perlindungan nelayan migran ini merupakan pertama kali dalam sejarah.
Setelah bertahun-tahun dilakukan upaya terus menerus untuk mendorong komitmen yang lebih kuat dalam pelindungan hak pekerja migran di sektor perikanan di Asia Tenggara.
Arifsyah mengatakan, deklarasi tersebut mengakui dua hal penting, yakni kontribusi positif para nelayan atau awak kapal perikanan (AKP) migran terhadap ekonomi Asia Tenggara serta hak asasi manusia mereka sebagaimana disebutkan pula dalam Deklarasi Universal HAM.
Baca juga: Komitmen Belanja PDN 2023 Tembus Rp 1.000 Triliun, Berapa Tenaga Kerja yang Terserap?
Deklarasi ini juga menyebut bahwa tugas untuk melindungi dan memenuhi hak-hak para AKP migran di keseluruhan siklus migrasi merupakan tanggung jawab bersama di antara negara-negara anggota ASEAN.
Deklarasi ini menjadi sebuah pertanda signifikan meningkatnya kesadaran di antara para pemimpin ASEAN terhadap urgensi masalah ini.
"Kami sangat menghargai para pemimpin negara anggota ASEAN yang meningkatkan komitmen mereka untuk mengakhiri praktik kerja paksa dan perdagangan manusia dalam perekrutan dan penempatan AKP migran Asia Tenggara di rantai industri perikanan global," lanjutnya.
Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia mendorong badan-badan di bawah ASEAN dan semua pemangku kepentingan untuk segera mengambil langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan deklarasi tersebut.
"Jangan biarkan deklarasi menjadi janji manis belaka. Mari pastikan implementasinya efektif untuk masa depan nelayan migran dan perlindungan laut kita," cetus Arifsyah.
Baca juga: Cara Memutus Peran Jadi Kasir Keluarga, Pekerja Migran Ikut Bimbingan Ciputra
Ke depan, Greenpeace mendesak para pemimpin ASEAN untuk memperhatikan dua hal:
1. Lebih banyak melibatkan organisasi masyarakat sipil
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara aktif melakukan kajian dan memberikan pendampingan atau advokasi bagi AKP migran.
Maka, guna memastikan deklarasi ini dilaksanakan dengan baik, Greenpeace percaya bahwa para pemimpin ASEAN harus berkolaborasi dengan organisasi-organisasi tersebut di setiap negara.
2. Deklarasi sebagai “batu loncatan” untuk aksesi Konvensi ILO 188 (C-188)
Dikeluarkan pada 2007, Konvensi ILO 188 (K-188) adalah instrumen hukum internasional yang mengatur secara rinci langkah-langkah untuk pelindungan pekerja di sektor perikanan, mulai dari perekrutan hingga penempatan dan pemulangan.
Hingga saat ini, di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang telah meratifikasinya. Negara-negara lain di kawasan ini harus mengikutinya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya