Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim

Kompas.com - 17/08/2023, 22:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (16/8/2023) mengandung kontradiksi. Hal ini terutama pada sektor hilirisasi pertambangan nikel.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyatakan, narasi Indonesia Emas 2045 yang disampaikan oleh Jokowi penuh paradoks, sangat parsial sekaligus tidak memprediksi dampak krisis multidimensi yang terjadi.

Pada saat yang sama, berbagai kebijakan yang dijalankan oleh Jokowi selama ia memimpin tidak mengarah pada aksi adaptasi dan mitigasi dampak krisis iklim.

Baca juga: Di Hannover, Jokowi Proritaskan Hilirisasi, Transisi Energi, dan IKN

“Padahal pada tahun 2045 Indonesia akan menghadapi situasi genting, yaitu puncak dari dampak buruk krisis iklim, yang ditandai oleh krisis air bersih, krisis pangan, banjir bandang dan longsor di mana-mana, cuaca dan panas ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Zenzi.

Menurut Zenzi, pidato Presiden tidak menunjukkan kegelisahan atas kegentingan krisis di Indonesia. Agenda hilirisasi nikel adalah satu bentuk ketidakpedulian Presiden terhadap krisis ekologis dan krisis iklim yang terjadi.

Fakta buruknya kondisi lingkungan dan kehidupan rakyat akibat pertambangan sudah terbukti pada pembangunan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali, Sulawesi Tengah, tambang nikel Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara, dan wilayah lingkar tambang dan industri nikel lain di seluruh Indonesia.

Walhi mencatat, hilirisasi nikel terbukti telah memorak porandakan bentang alam di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Baca juga: Progres Terbaru Rencana PLTS 300 MegaWatt Harita di Pulau Obi

Sampai dengan tahun 2022, konsesi lahan untuk tambang nikel di Indonesia mencapai 1.037.435,22 hektar. Dari jumlah itu, lahan seluas 765.237,07 hektare berada dalam kawasan hutan.

Tak hanya itu, agenda hilirisasi nikel mencemari laut dan menghancurkan pulau-pulau kecil, terutama sumber air bersih. Nestapa ini dialami oleh warga desa-desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, akibat pertambangan nikel.

Sumber air, sungai, laut sampai air-air yang mengalir ke rumah-rumah warga pun keruh, berwarna oranye bercampur lumpur. Krisis air bersih terjadi selama hampir tiga pekan, pada Bulan Mei 2023.

"Di Halmahera Timur, Maluku Utara, hilirisasi nikel telah memaksa lebih dari 5.000 nelayan tradisional berhenti melaut dan meninggalkan profesinya karena akumulasi pencemaran laut dan hancurnya ekosistem pesisir-pulau kecil akibat pertambangan nikel," ungkap Zenzi.

Baca juga: Indonesia Punya Pabrik Nikel Sulfat Terbesar di Dunia, Letaknya di Pulau Obi

Menurut Zenzi, respons presiden Jokowi sebelumnya tentang upaya mengatasi polusi udara dengan mendorong kendaraan listrik semakin menunjukkan kegagalan pemahaman presiden tentang tingginya timbulan emisi dan ancaman kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari hilirisasi nikel sebagai salah satu komponen dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.

Dari sejuta hektar lebih konsesi pertambangan nikel yang telah diberikan oleh pemerintah, setidaknya 50 juta ton emisi setara CO2 akan dilepaskan ke atmosfer akibat perubahan tutupan lahan.

Sementara dalam proses produksinya, jumlah emisi CO2 yang dihasilkan untuk memproduksi per ton nikel Kelas 1 dari bijih laterit Indonesia diperkirakan mencapai 59 ton emisi setara CO2.

Selain itu, jaringan energi Indonesia yang masih sangat bergantung pada pada energi fosil, termasuk pada kawasan-kawasan industri yang menjadi menjadi pusat utama pemrosesan nikel, diperkirakan menyumbang setidaknya 200 juta ton emisi.

Dalam konteks yang lebih besar, hilirisasi nikel akan menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis iklim pada masa mendatang.

"Dalam pidatonya, Jokowi menutup mata terhadap situasi yang dialami oleh masyarakat di tapak. Pidato ini menunjukkan watak pembangunan-isme rezim Jokowi,” tuntas Zenzi.

 

 

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com