Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

kolom

Kualitas Hutan Indonesia

Kompas.com - 28/11/2023, 16:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENARIK judul harian Kompas (Jumat, 3/11/2023) yang menurunkan berita tentang “Jasa Lingkungan di Hutan Alam Kurang Diekplorasi”.

Disebutkan bahwa tingginya pemanfaatan kayu dari hutan alam sejak dulu membuat potensinya sekarang surut amat rendah. Pemanfaatan hutan alam kini perlu lebih mengeksplorasi sektor jasa lingkungan yang belum banyak tergarap.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengemukakan potensi kayu dari hutan alam di Indonesia amat memprihatinkan.

Pada 1970 hingga 1980-an, potensi kayu bisa mencapai 150 meter kubik per hektare. Saat ini potensinya menurun hingga seperlimanya atau 30 meter kubik per hektare.

Purwadi memandang, Indonesia terlambat dalam menyikapi preferensi konsumen, khususnya terkait pergeseran pemanfaatan bahan baku kayu dari hutan alam.

Untuk itu, perlu transformasi pengelolaan hutan alam produksi, termasuk mengeksplorasi sektor pemanfaatan jasa lingkungan. Melalui cara ini, potensi hutan alam produksi dapat dimanfaatkan, tetapi tidak merusak dan tidak mengurangi fungsi pokok ekosistem tersebut.

Pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang dipersoalkan transformasi pengelolaan hutan alam setelah era eksploitasi bahan baku kayu hutan alam produksi terjadi lebih dari setengah abad, dihitung dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) no. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) yang mengizinkan adanya eksploitasi bahan baku kayu dari hutan alam.

Padahal Undang-Undang (UU) no. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan telah mengamanatkan bahwa manfaat hutan tidak sekadar ditinjau dari aspek ekonomi, tetapi juga harus dilihat dari aspek sosial maupun ekologi sehingga unsur-unsur kelestarian juga harus diperhatikan.

Namun faktanya hingga hari ini, aspek ekonomi yang ditunjukkan dengan angka-angka (kuantitas) nilai ekonomi hutan alam Indonesia lebih banyak ditonjolkan, sementara kualitas hutan yang dicirikan dengan kelestarian lebih banyak diabaikan atau tidak diperhatikan sama sekali.

Dalam PP no. 21/1970 pun, diikuti dengan Surat Keputusan (SK) Dirjen Kehutanan tahun 1972 yang mengatur tentang kelestarian hutan melalui penerapan silvikultur hutan alam, yakni sistem tebang pilih Indonesia (TPI), tebang habis permudaan buatan (THPB) dan tebang habis permudaan alam (THPA).

Namun faktanya, seperti yang disebut Sekjen APHI di atas; potensi hutan alam Indonesia dalam tempo lebih dari setengah abad menyusut drastis tinggal 30 meter kubik per hektare.

Secara ekonomis, apabila potensi hutan alam yang rendah tersebut akan diusahakan melalui pemanfaatan hutan hasil hutan kayunya, jelas tidak akan menguntungkan bagi perusahaan atau korporasi.

Bagaimana semua ini dapat terjadi pada hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 120,3 juta hektar atau lebih dari 60 persen daratan Indonesia, secara de jure (hukum)?

Penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut:

Pendekatan ekonomi kuantitatif

Dalam terminologi ilmu kehutanan, dikenal adanya 2 (dua) manfaat kawasan hutan/hutan, yakni manfaat langsung (tangiable) dan manfaat tidak langsung (intangiable).

Pemanfaatan langsung hutan atau kawasan hutan selama ini diukur dan dilakukan melalui pendekatan nilai ekonomi yang bersifat kuantitatif yang mendatangkan nilai rupiah atau dollar AS.

Sementara itu, pemanfaatan tidak langsung diukur dan dimanfaatkan melalui pendekatan kelestarian (sustainable) ekosistem yang sebenarnya sulit atau tidak mudah diukur dengan nilai ekonomi karena banyak faktor yang memengaruhinya.

Kalaupun diukur dengan nilai ekonomi, sifatnya hanya pendekatan yang disetarakan atau disamakan dengan nilai ekonomi yang kebenarannya perlu diuji kesahihan (validitas) lebih lanjut.

Pengelolaan hutan alam di Indonesia, khususnya hutan alam produksi lebih dari setengah abad yang lalu sejak diizinkannya HPH dan HPHH pada 1970 hingga saat ini, pada prinsipnya tidak banyak berubah, yakni pada pendekatan ekonomi kuantitatif semata.

Awal 1970, kita mengenal kawasan hutan alam Indonesia seluas 122 juta hektare yang tersebar dari ujung barat Sumatera dan ujung Timur Papua.

Ternyata hutan alam Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan mempunyai potensi jenis Dipterocarpaceae (meranti sp) yang sangat besar dan laku dalam perdagangan kayu dunia. Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi.

Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan, dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan).

Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan), baik asing maupun domestik, terus bertambah.

Dari hasil hutan alamnya, produksi kayu lapis Indonesia pernah tercatat menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia pada 1990-1995. Sektor kehutanan bahkan menyumbangkan devisa negara sebesar 16 miliar dollar AS per tahun.

Pada 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com