Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atasi Krisis Minyak, Profesor ITS Buat Inovasi Hilirarisasi Batu Bata

Kompas.com - 09/01/2024, 14:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Profesor Institut Teknologi Sepuluh (ITS) Nopember Surabaya Yulfi Zetra melakukan inovasi dengan mengoptimalkan pemanfaatan batu bara melalui hilirisasi batu bara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif pada bahan bakar fosil bersulfur rendah untuk mengatasi krisis minyak.

Guru Besar Departemen Kimia Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS itu mengatakan, tingkat impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin meningkat, padahal Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi.

"Salah satu alternatifnya adalah batu bara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi," ujar Yulfi, dikutip dari Antara, Selasa (9/1/2024).

Baca juga: Pembangunan SDM Jadi Kunci Hilirisasi Sumber Daya Alam

Menurut dia, pengolahan batu bara berpotensi menjadi BBM alternatif setelah melalui proses pencairan yang merupakan upaya untuk memecah makromolekul batu bara padat menjadi cair, hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil.

Pengolahan batu bara padat jadi cair

Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, kata dia, akan diperoleh batu bara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2-1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3-0,9.

Lebih lanjut, Yulfi menjelaskan proses hidrogenasi dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batu bara hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter.

Setelahnya, partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, antara lain pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang, dan gas hidrogen.

Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batu bara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat Celsius dan tekanan sebesar 120 MegaPascal (MP).

Baca juga: Hilirisasi Nikel Akselerasi Perekonomian Indonesia

Setelah melewati proses ini selama 60 menit, akan dihasilkan produk batu bara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan.

Selanjutnya, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30-538 derajat Celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).

Namun sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut masih memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi.

Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika dilakukan pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi.

"Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan," tutur Yulfi.

Sementara itu, kata dia, berkurangnya kandungan sulfur juga tidak baik bagi bahan bakar tersebut. Sebab, dapat mengurangi daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.

Untuk mengatasi hal tersebut, ia berinovasi dengan penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati demi mempertahankan daya lumas bahan bakar tersebut. Melalui serangkaian proses tadi, terang Yulfi, akan dihasilkan BBM alternatif.

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com