KOMPAS.com - Estimasi emisi gas metana dari tambang batu bara di Indonesia terindikasi tidak dilaporkan sepenuhnya.
Menurut studi independen yang dilakukan oleh lembaga think tank Ember Climate, emisi gas metana dari tambang batu bara di Indonesia lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Indonesia melaporkan emisi gas metana dari tambang batu bara ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFCCC pada sebesar 128 kiloton (kt) metana pada 2019.
Baca juga: Batasi Kenaikan Suhu Bumi, Emisi Metana Harus Dipangkas 75 Persen
Di sisi lain, menurut estimasi data satelit, emisi gas metana dari tambang batu bara Indonesia berpotensi mencapai 750 kt metana atau sekitar enam kali lipat lebih besar dari estimasi resmi pemerintah.
Sedangkan menurut estimasi data tambang, emisi gas metana dari tambang batu bara bisa mencapai tujuh kali lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan, dengan total emisi sebesar 875 kt metana.
Menurut Ember Climate, estimasi resmi yang dilakukan pemerintah memiliki asumsi dan pemilahan data yang belum sesuai, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
Dalam publikasinya, Ember Climate menyebutkan, estimasi emisi gas metana dari tambang batu bara di Indonesia saat ini belum diperinci dengan jelas.
"Secara spesifik, estimasi saat ini belum memiliki penjelasan mengenai asumsi yang digunakan yang memisahkan data aktivitas tambang terbuka dan bawah tanah serta faktor emisi yang digunakan," tulis Ember.
Baca juga: Metana dari Energi Terus Meningkat Sejak Pandemi
Saat ini, Indonesia mengestimasikan emisi gas metana dari tambang batu bara terbuka menggunakan metode Tier 1 dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC.
Metode sederhana ini mengestimasi emisi gas metana dari tambang batu bara menggunakan faktor referensi emisi.
Metode tersebut digunakan untuk memperkirakan jumlah gas metana yang dihasilkan untuk setiap ton batu bara yang diekstraksi atau diproduksi.
Indonesia menggunakan faktor emisi rendah 0,3 meter kubik metana per ton batu bara. Padahal, IPCC merekomendasikan bahwa faktor ini hanya digunakan ketika kedalaman lapisan batuan penutup tambang batu bara kurang dari 25 meter.
Baca juga: Komitmen Pemerintah Indonesia Kurangi Emisi Gas Metana Dipertanyakan
Tambang batu bara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, misalnya, memiliki kedalaman lapisan batuan penutup yang lebih dalam, masing-masing 30 meter dan 60 meter.
Apabila faktor emisi disesuaikan ke tingkat rata-rata atas yang direkomendasikan oleh IPCC, yakni 1,2 meter kubik metana per ton batu bara, maka emisi metana tambang batu bara permukaan akan meningkat empat kali lipat.
Di sisi lain, mengingat produksi batu bara Indonesia yang signifikan, IPCC juga menyarankan untuk mengelompokkan data aktivitas dan faktor emisi pada tingkat daerah atau cekungan tertentu yang kaya akan batu bara.
Ember Climate menyebutkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan estimasi emisi gas metana dari tambang batu bara Indonesia terlalu rendah.
Faktor-faktor tersebut yakni faktor emisi yang kurang sesuai, referensi potensi pemanasan global atau GWP yang lama, dan pengecualian tambang batu bara bawah tanah.
Baca juga: Metana dari Danau Turut Berkontribusi terhadap Emisi GRK
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya