Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/01/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pemanfaatan energi panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah.

Padahal, sebagai negara yang dilewati Cincin Api Pasifik atau Pacific Ring of Fire, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang melimpah ruah.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, potensi energi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 24.000 megawatt (MW).

Baca juga: Ini 4 Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia

Di sisi lain, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hingga akhir 2023 tercatat sekitar 3.000 MW, menurut catatan Satya.

Itu berarti, pemanfaatan panas bumi baru sekitar 12,5 persen dari total potensi yang ada.

Sedangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2017, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTP dapat mencapai 7.239 MW pada 2025 dan 17.546 MW pada 2050.

"Jika ingin mencapai target tersebut perlu lompatan yang luar biasa," kata Satya dalam webinar bertajuk "Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi Sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060" yang digelar oleh Reforminer Institute yang dipantai secara daring, Senin (15/1/2024).

Baca juga: Pemerintah Daerah Didorong Aktif Fasilitasi Pengembangan Panas Bumi

Satya menuturkan, pemanfaatan panas bumi perlu dioptimalkan untuk meningkatkan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.

"Kita harus membuat panas bumi menjadi potensi EBT yang harus dimaksimalkan," ujar Satya.

Menurut catatan Satya, pengembangan PLTP di Indonesia mengalami setidaknya empat risiko.

Pertama, risiko tahap eksplorasi tinggi. Contonya kegagalan menemukan sumber yang sesuai, tidak ada jaringan, tidak ada permintaan, dan faktor pembebasan lahan.

Baca juga: Kembangkan Panas Bumi Indonesia, Pertamina Bidik Kerja Sama Mitra Global

Kedua, risiko pengembangan eksploitasi moderat. Contohnya penundaan dan biaya rekayasa pengadaan, konstruksi, dan commissioning atau EPCC yang memengaruhi harga keekonomian.

Selain itu tidak tercapainya negosiasi dalam harga jual listrik atau uap panas bumi, risiko sosial seperti penolakan, dan risiko pendanaan.

Ketiga, risiko tahap operasi rendah. Contohnya adalah kinerja pembangkit menurun dan produksi sumur di bawah target.

Keempat, risiko lainnya. Contohnya adalah perizinan, bencana alam, paparan gas beracun, pencemaran lingkungan, kecelakaan kerja, kendala sosial, pandemi, dam kesenjangan tarif.

Baca juga: Energi Panas Bumi: Masa Depan Ketenagalistrikan Indonesia

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com