KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan suhu bumi sepanjang 2023 merupakan rekor terpanas sepanjang sejarah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Tahun 2023 juga setiap bulan antara Juli dan Desember, selalu mencetak rekor suhu permukaan baru. Artinya zaman sebelumnya, itu tidak pernah mengalami suhu setinggi itu,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Hal itu ia sampaikan dalam konferensi pers Road to 10th World Water Forum "Kolaborasi Tangguh Atasi Tantangan Perubahan Iklim" yang digelar daring, Senin (1/4/2024).
Baca juga: Suhu Bumi Hampir Lampaui Ambang Batas, Perusahaan Migas Getol Ekspansi
Fenomena suhu panas tersebut, adalah dampak dari variabilitas dan perubahan iklim yang seringkali dirasakan pada sumber daya air.
Tak hanya sumber air, dampaknya terlihat pada kejadian ekstrem seperti suhu panas di Indonesia maupun dunia.
“Tapi setiap bulan dari Juni rekor tertinggi, Juli lebih tinggi lagi, Agustus lebih tinggi lagi, Desember lebih tinggi lagi dibandingkan bulan-bulan Juni, Juli, Agustus sampai Desember tahun-tahun sebelumnya,” tambah Dwikorita.
Dwikorita juga mengatakan, pada 2023, terdapat dua bulan terpanas sepanjang sejarah yakni Juli dan Agustus.
“Tercatat pada bulan Juli dan Agustus 2023 adalah dua bulan panas yang pernah tercatat di dalam sejarah pencatatan suhu permukaan tersebut,” ucapnya.
Tahun 2023 secara resmi juga dinobatkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah sejak pencatatan suhu dilakukan pada 1850-an.
Dwikorita mengungkapkan, menurut laporan organisasi meteorologi duni atau World Meteorological Organization (WMO), rata-rata suhu tahun 2023 meningkat sebesar 1,45 derajat Celsius dibandingkan dengan era pra-industri.
Baca juga: Batasi Kenaikan Suhu Bumi, Emisi Metana Harus Dipangkas 75 Persen
"Jadi baseline itu tahun 1850 hingga tahun 1900, hingga sampai tahun 2023 meningkatnya sudah mencapai 1,45 derajat Celsius," tutur dia.
Padahal, dalam kesepakatan Paris (Paris Agreement) dicantumkan suhu bumi tidak boleh lebih dari 1,5 derajat Celcius untuk akhir abad.
"Nah, ini baru tahun 2023. Jadi betapa kita ini sudah sangat dekat dengan batas dari kesepakatan tadi. Sebelum tahun 2023, jadi tahun 2022 itu masih 1,2 derajat Celcius,” kata Dwikorita.
Hal tersebut, berkaitan dengan meningkatnya kejadian ekstrem yang semakin sering, dengan intensitas semakin kuat dan durasi semakin panjang.
Menurutnya, fenomena ini sangat berhubungan erat dengan meningkatnya intensitas kegiatan industri yang menghasilkan gas rumah kaca.
Baca juga: 12 Bulan Terakhir, Suhu Bumi Naik 1,5 Derajat Celsius
“Jadi gas-gas rumah kaca itu antara lain CO2, itu yang berperan menaikkan suhu karena gas-gas itu menjadi selubung di atmosfer menjadi selimut atmosfer yang menghambat pelepasan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi untuk kembali ke angkasa luar,” papar Dwikorita.
“Sehingga sinar matahari atau suhunya itu terjerat, terjebak di dalam atmosfer. Itulah yang mengakibatkan kenaikan suhu yang semakin melompat,” imbuhnya.
Dwikorita menegaskan, fenomena meningkatnya suhu panas harus menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Sebab, perubahan iklim menjadi tantangan bersama yang perlu diselesaikan secara bersama-sama.
"Ini merupakan challenge (tantangan) kita semua, seluruh dunia terhadap perubahan iklim. Kekeringan tadi, kelangkaan air, dan juga terlalu banyaknya air," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya