KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia beberapa waktu terakhir terus menggaungkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai gerakan menuju transisi energi.
Komitmen pelaksanaan pensiun dini PLTU batu bara di Tanah Air pun tertuang dalam penandatangan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) di sela COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Selasa (5/12/2023) lalu.
Melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), harapannya gerakan ini bisa mendukung inisiatif dekarbonisasi di Indonesia dalam langkah menuju netralitas karbon atau net zero emisson (NZE) pada 2060.
Baca juga: Pensiun Dini PLTU Berdampak Positif Bila Diganti Energi Terbarukan
Sayangnya, sejumlah pengamat, seperti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai belum ada kerangka kerja atau peta jalan yang seragam dan komprehensif sebagai acuan dalam transisi energi.
Peneliti CELIOS Muhamad Saleh menyebut transisi energi berpotensi gagal, dalam hal ekonomi hingga sosial, karena belum adanya kerangka acuan yang komprehensif.
"Program JETP masih pada level kebijakan yang tidak memiliki basis hukum yang kuat," kata Saleh dalam Diseminasi Temuan Riset CELIOS dan CERAH 'Antisipasi Dampak Ekonomi Pensiun Dini PLTU Batu Bara' yang digelar di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Menurut Saleh, jenis hukum pada program percepatan pengakhiran masa operasional PLTU tidak jelas dan berpotensi memunculkan deskresi berlebih oleh pejabat, sehingga menjadi sangat rentan terhadap perubahan atau pergeseran prioritas.
Kemudian, pemerintah belum menentukan waktu yang spesifik untuk menyusun peta jalan (road map) pensiun dini PLTU batu bara.
Selanjutnya, tidak ada prosedur yang jelas, pasti, dan baku dalam proses penyusunan peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU. Komitmen meninggalkan pembangkit berbasis batu bara juga belum tegas.
Baca juga: PLTU Pensiun Dini, EBT Digenjot Ciptakan 600.000 Green Jobs
Tak hanya itu, pemda dan aktor kunci di daerah yang seharunya berperan penting, juga masih belum dilibatkan dalam penyusunan peta jalan transisi energi.
Padahal, studi CELIOS tahun 2023 menemukan bahwa BUMN, Pemda dan CSO (Kelompok masyarakat sipil) dianggap memiliki peran paling strategis yang harus dilibatkan.
Kemudian, kriteria untuk mempercepat pengakhiran operasi PLTU juga tidak bebas dari konflik kepentingan.
"Perpres, tidak mengatur kriteria untuk mengatasi potensi benturan kepentingan ketika melakukan proses percepatan pengakhiran PLTU. Padahal, situasi benturan kepentingan menjadi sangat nyata saat PLN harus mengakhiri pengoperasian PLTU yang dimilikinya sendiri atau PLTU swasta (IPP),” kata Saleh.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengatakan agenda transisi energi, pensiun dini PLTU penting dilakukan untuk mencapai ambisi Net Zero Emissions (NZE). Namun, langkah itu tidak cukup.
Agar dapat mengatasi dampak ekonomi yang signifikan, maka kebijakan berdasarkan hasil kajian ini harus dibarengi dengan akselerasi pembangunan energi terbarukan.
Jadi, antara pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi. Penting bagi pemerintah untuk melihat ini secara utuh.
"Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat signifikan karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu," cetus Saleh.
Oleh karena persoalan sebelumnya, CELIOS dan CERAH memberikan sejumlah rekomendasi terkhusus bagi pemerintah, untuk menyempurnakan kebijakan dan regulasi terkait program transisi energi. Berikut beberapa rekomendasinya:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya