JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat rata-rata alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2023 kabupaten/kota untuk pengolahan sampah di hanya sebesar 0,64 persen.
Hal ini disampaikan oleh Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Jendral Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri, Rima Yuliantari Suharin. Rendahnya anggaran, kata dia, menjadi salah satu tantangan pengelolaan sampah di kota maupun kabupaten di Indonesia.
"Persoalan besarnya adalah yang pertama adalah terkait dengan rendahnya biaya pengolahan persampahan yang digelontorkan oleh pemerintah daerah melalui APBD-nya. Ini rata-rata tahun 2023 itu hanya sekitar 0,64 persen dari total APBD," ujar Rima dalam acara Media Workshop yang digelar di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Baca juga:
Ia menjelaskan, dibandingkan beberapa wilayah di Indonesia, Jakarta merupakan kota dengan anggaran APDB tertinggi untuk pengolahan sampah. Angkanya mencapai 3 persen.
Namun, anggaran yang terbilang tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainya tersebut, belum menjadikan pengolahan sampah di Jakarta sepenuhnya berhasil.
"Kalau DKI ini sekitar 3 persenan, itu saja masih terseok-seok, gimana yang 513 (kabupaten dan kota) lainnya,“ imbuh dia.
Sebab, Rima menyampaikan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tercantum bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab penuh atas pengolahan sampah di daerah mereka.
Hal tersebut, menurutnya menjadi salah satu tantangan mencapai target pemerintah, yakni 100 persen rumah tangga mendapatkan layanan pengelolaan sampah yang aman dan menyeluruh pada tahun 2045.
Rima mengungkapkan, salah satu indikator pengelolaan sampah belum optimal adalah masih banyaknya pekerja informal yang mengambil sampah di tempat pembuangan akhir (TPA).
"Kalau kita lihat, banyak sekali pemulung masih ada di TPA. Banyak sekali pemulung masih ngumpulin sampah pada tempat-tempat pembuangan sementara," ujar dia.
Baca juga:
Padahal, pemerintah menetapkan bahwa 90 persen sampah harus terkelola dengan baik, sementara hanya 10 persen yang menjadi residu di TPA.
"Itu berarti, pekerjaan rumah (PR) pertama kita adalah mengubah perilaku masyarakat agar lebih sadar dalam memilah sampah sejak dari sumbernya," imbuh Rima.
Ia berharap, pemerintah daerah bisa menjalankan program kolaboratif untuk membantu mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilah sampah dari sumbernya.
Pemerintah daerah telah memiliki kewenangan untuk bekerja sama dengan berbagai mitra, baik dari NGO internasional, NGO lokal, maupun pihak swasta, yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018.
"Kita (juga) ada mengeluarkan permen dari tahun 2020, ini tentang tata cara kerjasama antara pemerintah daerah dengan mitra," terang Rima.
Baca juga: Menilik Kipah BRI untuk Praktik Keberlanjutan Komunitas Lokal di Lestari Summit 2024
Menurutnya, contoh implementasi kerja sama ini salah satunya sudah terlihat di Provinsi DKI Jakarta. Berbagai pihak bekerja bersama dalam upaya pengelolaan sampah yang lebih baik. Kolaborasi serupa diharapkan dapat menjadi model untuk daerah-daerah lain di Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya