JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ardhi Wardhana, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh pemerintah baru menjadi tantangan besar bagi negara.
Saat ini, kata dia, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berkisar pada angka Rp 21 kuadriliun.
Untuk mencapai target pertumbuhan 8 persen dalam lima tahun ke depan, dibutuhkan tambahan PDB sebesar Rp 1,68 kuadriliun per tahun, sehingga totalnya mencapai 8 hingga 9 kuadriliun rupiah.
Baca juga: Pintu Perluas Edukasi untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital RI
"Sekitar sepertiganya atau Rp 3 kuadriliun harus berasal dari investasi. Dan investasi seperti apa yang kita butuhkan, itu kan jadi pertanyaan semua ekonom dan juga orang-orang yang kritis juga terhadap kajian 8 persen," ujar Ardhi dalam Seminar Publik CSIS di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Lebih lanjut, kata dia, target ambisius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen perlu didukung dengan investasi yang tepat di sektor industri, terutama yang berkaitan dengan energi.
Sektor yang dianggap paling potensial adalah industri manufaktur, yang tidak hanya mampu memberikan dampak besar pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memiliki serapan energi listrik terbesar, yaitu sekitar 30 persen.
Namun, menurutnya, tantangan utama tetap terletak pada jenis investasi yang diperlukan untuk mendorong sektor ini, agar mampu memberikan kontribusi maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Studi: 2024 Jadi Era Transisi Energi Betulan, Emisi Segera Capai Puncak
Pasalnya, pada periode 2014-2019, program 35 gigawatt listrik yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tidak sepenuhnya tercapai, karena asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen tidak terpenuhi.
Akibatnya, beberapa wilayah, khususnya Jawa dan Bali, mengalami oversupply (kelebihan) energi dengan margin cadangan listrik mencapai 44 persen, jauh di atas batas ideal 20-35 persen.
Dengan target pertumbuhan ekonomi 8%, penting untuk memastikan bahwa rencana ketenagalistrikan nasional disusun dengan realistis, agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
"Nah, jika kita berangan-angan di masa yang akan datang kita akan sampai 8 persen, berapa besar demand yang harus kita munculkan?" ungkapnya.
"Jadi dari kacamata kami, dari kacamata peneliti, mungkin harus dikaji lebih dalam lagi terkait dengan strategi 8 8 persen," imbuh Ardhi.
Baca juga: Kerja sama Transisi Energi Indonesia-Jepang Berpotensi Naikkan Emisi
Selain pertumbuhan ekonomi, kata dia, tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah final energy demand atau kebutuhan energi akhir.
Dalam hal ini, Indonesia tidak hanya harus fokus pada transisi energi, tetapi juga menentukan jenis energi apa yang akan menjadi andalan di masa depan.
Menurutnya, dalam konteks Indonesia, energi terbarukan yang menjadi fokus adalah hidro, energi surya, dan juga energi nuklir.
Baca juga: Indonesia-Jerman Perkuat Transisi Energi
Namun, masih ada pertanyaan yaitu berapa besar porsi dari masing-masing sumber energi terbarukan, dan bagaimana memastikan transisi energi berjalan efektif dan efisien secara biaya.
"Jangan sampai kita hanya berhenti di dalam proses energi transisinya saja. Tapi kita tidak tahu finalnya seperti apa. Apakah kita mau 90 persen renewable energy? Renewable energy yang mana? Hydro-nya berapa persen? PLTS-nya berapa persen?" papar dia.
Lebih lanjut, Ardhi mengatakan bahwa salah satu solusi untuk mendorong percepatan transisi energi adalah melalui kebijakan insentif dan disinsentif.
Salah satu bentuk disinsentif yang dapat diterapkan adalah pengurangan subsidi bahan bakar fosil. Adapun investasi yang perlu didorong adalah dalam riset dan pengembangan (R&D) teknologi energi terbarukan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya