Di sisi lain, Ruth menuturkan bahwa berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTT, persentase anak stunting di provinsi tersebut ditargetkan 12 persen pada 2023.
Dia optimistis target RPJMD tersebut dapat tercapai mengingat penurunan anak stunting di NTT rata-rata 4,4 persen setiap tahunnya.
Apalagi, NTT juga mendapatkan berbagai bantuan dari berbagai pihak dan sejumlah lembaga kemanusiaan untuk menurunkan angka stunting di sana.
Baca juga: Kepala BKKBN: Angka Stunting di Indonesia Turun Jadi 21,6 Persen
“Kami sedang berusaha untuk penanganan (kasus) anak-anak balita gizi kurang, gizi buruk, berat badan tidak naik. Stunting baru tidak boleh ada, stunting lama bisa dibantu keluar dari statusnya,” ujar Ruth.
Berdasarkan status gizinya, anak stunting di NTT 81,3 persen mengonsumsi karbohidrat. Akan tetapi dari persentase tersebut, 87,7 persennya mengonsumsi karbohidrat dengan porsi yang kurang dari kebutuhan.
58,6 persen balita stunting di NTT sudah mengonsumsi protein hewani. Dari persentase itu, 10,4 persen di antaranya mengonsumsi protein hewani dengan porsi yang masih kurang dari kebutuhan.
Di sisi lain, sebanyak 75,4 persen anak stunting di NTT tidak mengkonsumsi lauk nabati.
Baca juga: Atasi Stunting, Pemkab Nunukan Kucurkan APBD Bantuan Makanan Bergizi
Dinas Kesehatan, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT menangani anak stunting dengan berbagai intervensi serta kampanye makanan bergizi.
Contoh dari intervensi yang dilakukan adalah pemberian edukasi dan suplemen untuk ibu menyusui dan balita, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK), intervensi spesifik untuk bayi gizi buruk dan gizi kurang, hingga kampanye aksi bergizi bagi remaja putri.
Ruth menyampaikan, Pemerintah Provinsi NTT menggelar rapat koordinasi sebanyak dua kali dalam setahun dengan melibatkan bupati atau wali kota se-provinsi dan OPD terkait untuk aksi penanganan stunting.
Ruth menuturkan, 30 persen penanganan stunting dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT seperti program intervensi, kampanye makanan bergizi, pemantauan timbangan balita, dan lain-lain.
Sisanya, yaitu 70 persen, adalah strategi pencegahan sensitif yang bisa dilakukan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) atau pihak lain yang ingin membantu. Maka, penanganan stunting memang memerlukan koordinasi lintas sektor.
Baca juga: Ribuan Anak di Kota Jayapura Menderita Stunting
“70 persen sisanya namanya strategi pencegahan sensitif. Salah satunya air bersih, tidak boleh buang air besar (BAB) sembarangan, pangan harus untuk anak-anak. Nah itu dilakukan oleh OPD yang lain,” ujar Ruth.
“Sehingga saya sampaikan, rapat koordinasi yang dipimpin langsung gubernur mengatasi hal-hal ini,” sambungnya.
Dia mencontohkan, daerah dengan jumlah anak stunting yang banyak akan diberikan sejumlah bantuan dari OPD atau pihak lain sepeti bibit sayur, ternak, ternak kecil, ternak besar, prioritas untuk pembangunan air bersih, dan pembangunan jamban layak.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Penanganan dan Pencegahan Stunting Provinsi NTT Sarah Lery Mboeik mengatakan bahwa air bersih dan sanitasi dan layak juga penting untuk menyelesaikan stunting.
Sarah mencontohkan, di Kota Kupang, penyebab stunting selain kemiskinan adalah anak-anak yang cacingan.
Sehingga, ketika makanan yang masuk ke tubuh, gizinya semakin berkurang. “Penyebab cacingan karena sanitasi buruk dan pasokan air bersih yang kurang,” ujar dia sebagaimana dilansir Kompas.com, 3 April 2023.
Baca juga: Dinkes Sebut 20,65 persen Anak di Kota Jayapura Alami Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya