KOMPAS.com – Dunia tengah berada dalam fase transisi energi dari energi listrik berbasis fosil, terutama batu bara, ke energi terbarukan.
Transisi energi ini tak hanya akan memicu perubahan drastis dari hulu batu bara, tetapi juga mata pencaharain dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batu bara.
Direktur Program Just Transition iForest India Srestha Banerjee mengatakan, transisi energi lebih cenderung ke urusan politik, bukan sepenuhnya masalah teknis.
Baca juga: Parlemen Eropa Sidak Pengembangan Transportasi Berbasis Energi Bersih di Indonesia
Hal tersebut disampaikan Srestha Banerjee dalam webinar berjudul The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context.
“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara,” jelas Srestha Banerjee sebagaimana dilansir dari siaran pers Institute for Essential Services Reform (IESR), Jumat (12/5/2023).
“Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” imbuhnya Srestha.
Indonesia, sebagai negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan.
Baca juga: Percepatan Transisi Energi di ASEAN Perlu Libatkan Masyarakat Sipil
Seiring melonjaknya harga batu bara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batu bara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum menuturkan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN.
Hal tersebut tercermin dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Akan tetapi, implementasinya masih menghadapi tantangan.
“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” ucap Citra, sapaannya.
Citra menambahkan, pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Baca juga: Gandeng SUN Terra Bangun PLTS, ITSB Canangkan Kampus Hijau Energi Mandiri
Associate Professor di Sirindhorn International Institute of Technology Thammasat University Thailand, Chalie Charoenlarpnopparut, sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.
“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.
Menyadari bahwa transisi energi, khususnya transisi batu bara, merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting.
Chalie menambahkan bahwa di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.
“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.
Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Energi Panas Bumi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya