Upaya mendorong permintaan listrik di luar Jawa salah satu contohnya adalah dengan membangun ekosistem industri yang mapan.
Industri bisa langsung memicu konsumsi listrik dan efek dominonya mengerek konsumsi rumah tangga karena tumbuhnya jumlah penduduk di kawasan industri.
Sepertinya, Pemerintah Indonesia cukup serius merealisasikan kehadiran PLTN. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan PLTN berbasis thorium di Kepulauan Bangka Belitung.
Sementara itu, Kementerian ESDM juga berencana mengembangan PLTN terapung dengan teknologi small modular reactor yang bisa mobile.
Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Kementerian PPN/’Bappenas memasukkan energi nuklir dalam rencana jangka panjang Indonesia.
Rencana-rencana tersebut sulit tercapai tanpa adanya landasan yang kuat berupa undang-undang (UU).
Sebagaimana dijelaskan di awal artikel, RUU EBET tengah dikebut dan secara spesifik memasukkan energi nuklir. Jika RUU ini disahkan dan menjadi UU, pembangunan PLTN tentu akan mendapat pijakan yang kuat.
Dalam RUU EBET, nuklir dimasukkan ke dalam daftar “energi baru”. Dimasukkannya nuklir ke dalam energi baru dalam RUU EBET tentu ditentang oleh berbagai aktivis lingkungan.
Kalau disebut energi terbarukan, PLTN tidaklah berkelanjutan. Kalau disebut energi baru, PLTN sebenarnya tidak baru-baru amat.
Di sisi lain, pemanfaatan energi baru di Indonesia masih belum maksimal sejauh ini. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan 23 persen energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional.
Dilihat dari kondisi saat ini, Dewan Energi Nasional dalam Outlook Energi Indonesia 2022 melaporkan bahwa porsi energi baru terbarukan baru sebesar 12,2 persen dalam bauran energi nasional.
Kontributor terbesar dalam bauran energi nasional masih dipegang batu bara dengan 37,6 persen, disusul minyak bumi 33,4 persen, dan gas bumi atau gas alam 16,8 persen.
Untuk diketahui, sumber energi terbarukan di Indonesia melimpah ruah. Contohnya energi surya dengan potensi energi 3.294 gigawatt (GW), panas bumi 23,9 GW, bayu atau angin 154,9 GW, dan hidro atau air 95,0 GW.
Di sisi lain, energi terbarukan seperti surya dan angin sangat intermitten dan produksi listriknya sangat dipengaruhi oleh cuaca.
Sedangkan sumber energi terbarukan yang lebih stabil seperti panas bumi mendapat resistensi di berbagai tempat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya