KOMPAS.com - Gangguan mental yang dialami oleh ibu hamil dan ibu pasca-persalinan dapat meningkatkan potensi bayi yang dilahirkan terkena stunting.
Ketua Komunitas Wanita Indonesia Keren Maria Stefani Ekowati mengatakan, anak menjadi stunting tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik semata.
Kondisi tersebut juga disebabkan oleh gangguan mental yang menyebabkan ketidakbahagiaan seorang ibu dalam mengasuh bayinya.
Baca juga: Sanitasi Layak dan Aman Berpengaruh Turunkan Stunting
"Kondisi stress postpartum (depresi yang terjadi setelah melahirkan) dan baby blues (prtubahan suasana hati setelah melahirkan) seorang ibu menyebabkan depresi panjang yang berpengaruh terhadap bayinya," kata Maria dalam keterangan resmi BKKBN di Jakarta, Senin (19/6/2023).
Maria menuturkan, gangguan kesehatan mental pada orang tua berdampak pada tumbuh kembang anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Berdasarkan sebuah penelitian skala nasional yang Maria paparkan, sebanyak 50 hingga 70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues antara minimal hingga sedang.
Hal ini merupakan angka tertinggi ketiga di kawasan Asia.
Baca juga: Perubahan Perilaku Masyarakat Tantangan Tersulit Atasi Stunting 2023
“Penelitian HCC (Health Collaborative Center) di Pekan ASI se-Dunia tahun 2022 membuktikan enam dari 10 ibu menyusui di Indonesia tidak bahagia," kata Maria.
"Anak yang terlahir dari ibu dengan stress postpartum, diketahui sebanyak 26 persen mengalami stunting," sambungnya, sebagaimana dilansir Antara.
Ia membeberkan dari penelitian yang dilakukan pada 2020, sebesar 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi postpartum.
Demikian juga penelitian di Lampung, sebanyak 25 persen mengalami gangguan depresi setelah melahirkan.
Baca juga: Penyelesaian Stunting di 378 Daerah Tidak Sesuai Target
“Itu sebabnya kami meyakini perlu adanya model promosi kesehatan mental di komunitas dan secara strategis model ini diimplementasikan di tingkat posyandu (pos pelayanan terpadu) dan Tim Pendamping Keluarga,” kata Maria.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan bahwa dalam upaya percepatan penurunan stunting, lembaganya memiliki tugas utama untuk mengubah pola perilaku masyarakat.
Sebab, hal tersebut merupakan tantangan tersulit yang harus dihadapi pemerintah dalam melindungi anak dari stunting.
Menurutnya, perilaku reproduksi dalam keluarga masih bisa dibilang minim. Dikarenakan banyak keluarga yang baru menikah tidak paham pentingnya merencanakan kehamilan ataupun cara menjaga kesehatan reproduksi.
Baca juga: Kejar 10 Sasaran RPJMN 2020-2024, Salah Satunya Stunting
Salah satunya adalah pentingnya menjaga jarak antar-kelahiran dalam keluarga, yang bisa membantu ibu beristirahat baik secara fisik maupun mental, serta memaksimalkan pemberian pola asuh yang baik kepada anak-anaknya.
"Saya kira kemampuan keluarga baru untuk hidup berkeluarga yang sehat masih minim dan itu tantangan," ucap Hasto.
"Kemampuan mereka masih sebatas mengadakan pesta atau beli make up. Jadi, bukan bagaimana hamil sehat, bukan bagaimana menyiapkan kehamilan yang baik," singgungnya.
Baca juga: Penanganan Stunting Rupanya Sudah Diamanatkan Pembukaan UUD 1945
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya