Daerah tesebut dibagi menjadi tiga zona yaitu hijau, kuning dan merah. Untuk daerah zona hijau, pemerintah akan melakukan pengawasan dan pengawalan serta antisipasi terjadi kekurangan air.
Sementara daerah zona kuning, pemerintah akan membangun dan memperbaiki embung, biopori, DAM, parit dan lain-lain untuk peningkatan ketersedian air irigasi.
"Sedangkan untuk daerah zona merah, pemerintah akan menyiapkan sumur dalam untuk irigasi, diversifikasi pangan untuk antisipasi dampak El Nino dan mengoptimalkan lahan sawah rawa,” kata Devied.
Guru Besar IPB yang juga Ketua Umum Assosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa menambahkan, dampak El Nino paling besar akan menimpa produksi padi.
Berdasarkan pengalaman El Nino pada 2015 dan 2019 lalu, para petani padi mulai beralih menanam jagung ketika terjadi musim kemarau panjang.
“Petani kita sebenarnya sudah adaptif terhadap cuaca. Apabila terjadi kemarau panjang maka petani akan beralih menanam yang tidak memerlukan banyak air seperti jagung. Ini yang membuat harga jagung pada saat ini yang hampir mencapai Rp 6.000 per kilogram,” kata tutur Andreas.
Baca juga: 7 Mitos Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Beserta Fakta Penyangkalnya
Peningkatan produksi bukan hanya tugas Kementerian Pertanian tapi juga Kementerian Keuangan. Karena, tarif impor pangan Indonesia untuk beberapa komoditas itu 0 persen. Ini membuat petani Indonesia harus berhadapan langsung dengan produk dari petani luar negeri.
“Harga produksi petani jangan sampai berbenturan dengan harga produksi pangan internasional sehingga petani bisa bergairah lagi untuk menanam komoditas pangan,” pungkas Andreas.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya