KOMPAS.com - 35 tahun lalu, pada 23 Juni 1988, seorang ilmuwan bernama James Hansen menyampaikan testimoninya di depan anggota Senat AS. Kalau itu, dia memperingatkan bahwa pemanasan global telah dimulai.
Dilansir dari The New York Post, beberapa tahun sebelum Hansen berpidato di depan Kongres AS, rata-rata suhu di dunia telah naik. Para ilmuwan kala itu sangat berhati-hati untuk mengaitkan peningkatan rata-rata suhu bumi dengan pemanasan global.
Akan tetapi, Hansen mendobrak itu semua. Di depan anggota Kongres AS, dia menyatakan 99 persen yakin bahwa tren meningkatnya suhu bumi disebabkan oleh pemanasan global karena efek gas rumah kaca.
Baca juga: Pemanasan Global dan El Nino Buat Bumi Makin Panas
Efek gas rumah kaca tercipta karena lepasnya banyak emisi ke atmosfer dan memerangkap lebih banyak panas matahari di Bumi.
Hansen yang merupakan pakar perubahan iklim dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) menyatakan bahwa bukti-bukti yang ada sudah cukup menunjukkan kalau pemanasan global sudah terjadi.
"Sudah waktunya untuk berhenti bertele-tele dan mengatakan bahwa bukti yang cukup kuat bahwa efek rumah kaca ada di sini," kata Hansen dikutip dari The New York Post.
Hansen dan timnya mencatat suhu dari pembacaan di stasiun pemantauan di seluruh dunia. Dia juga melaporkan bahwa terjadi empat tahun terpanas pada tahun 1980-an.
Sejak saat itu, Hansen kerap ikut serta dalam aksi protes bersama para aktivis iklim dalam mengkritik kurangnya aksi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, penyebab utama pemanasan global.
Baca juga: Perbedaan Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Dan kini, pada 2023, dunia benar-benar menghadapi ancaman perubahan iklim yang samking besar.
Kepada The Guardian, Hansen mengatakan bahwa dunia telah menghangat sekitar 1,2 derajat celsius sejak Revolusi Industri.
Kenaikan suhu tersebut berpeluang 20 persen lebih besar untuk mengalami suhu musim panas ekstrem yang saat ini terlihat di banyak bagian belahan bumi utara.
"Masih banyak lagi yang akan terjadi, kecuali kita mengurangi jumlah gas rumah kaca,” kata Hansen, sebagaimana dilansir The Guardian, Rabu (19/7/2023).
Dia mengatakan, gelombang panas yang mengguncang AS, Eropa, China, dan beberapa tempat lain dalam beberapa pekan terakhir membuat para ilmuwan semakin kecewa.
"Rasa kecewa karena kami para ilmuwan tidak berkomunikasi dengan lebih jelas dan bahwa kami tidak memilih pemimpin yang mampu memberikan tanggapan yang lebih cerdas," ujar Hansen.
"Itu berarti kita benar-benar terkutuk. Kita baru merasakannya untuk bisa mempercayainya," kata Hansen tentang respons manusia yang kurang kuat dalam mengatasi krisis iklim.
Baca juga: Darat dan Lautan Catatkan Rekor Terhangat, Upaya Perlawanan Pemanasan Global Dipertanyakan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya