JAKARTA, KOMPAS.com - Kolaborasi di antara para akademisi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah global yang bersifat disruptif dan dapat mengganggu keamanan dunia, penting dilakukan.
Direktur Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Athor Subroto menekankan hal ini saat membuka acara Internasional Conference on Strategic and Global Studies (ICSGS) yang ke-7 tahun 2023.
Hal senada diungkapkan Konsul Jenderal Indonesia di Melbourne Kuncoro Waseso, bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah global, menjaga perdamaian dunia, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
"Selain itu, pentingnya gotong royong atau kolaborasi menjadi sesuatu yang dikedepankan dalam mewujudkan komitmen Pemerintah Indonesia," imbuh Kuncoro.
Baca juga: Enam Strategi Lemhanas Tangkal Disrupsi Informasi Jelang Pemilu 2024
Sementara itu, Prof. Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne, berbicara mengenai hal penting seperti ketimpangan. Menurutnya, ada penguasaan kekayaan yang terdistribusi pada sedikit orang, baik di Dunia maupun Indonesia.
Khusus Indonesia, mengutip laporan Bank Dunia, satu persen orang kaya menguasai 50 persen kekayaan Indonesia. Hal ini akan memengaruhi banyak bidang, termasuk bagaimana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Dalam konteks ini, menyinggung kegiatan Pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun depan, para kandidat yang akan maju belum mengusung soal ini sebagai pokok perhatiannya," ujar Vedi.
Adapun Prof. Greg Barton dari Alfred Deakin Institute memberi gambaran soal megatrend dunia dalam berbagai sisi. Yang pertama berhubungan dengan bagaimana Barat mengalami beberapa persoalan berat meskipun belum mengalami kejatuhan.
"Ini dapat dilihat dalam krisis Ukraina yang disebabkan perang dengan Rusia," ucap Greg.
Baca juga: Pesan Perdamaian dan Kesejahteraan Dunia dari Candi Borobudur
Sisi kedua yang disoroti adalah menyangkut perkembangan yang terjadi di China. Ini meliputi kekhawatiran tentang terjadinya perang di Selat Taiwan mengingat ketegangan dengan China yang meningkat.
Pada sisi yang ketiga, soal krisis iklim yang akan menjadi persoalan dan bisa jadi akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya karena sifatnya jangka panjang.
"Kita perlu mencari cara bagaimana ini diselesaikan dengan baik," cetus Greg.
Sementara sisi keempat, dinamika populasi global yang berayun di antara kelebihan populasi dengan penurunan populasi.
Negara-negara Barat dan Asia Timur mengalami penurunan, termasuk China. Sementara negara Afrika, akan berkembang sebaliknya.
Sisi kelima adalah transformasi digital. Disrupsi karena soal digital telah membawa fenomena baru yang menantang berbagai aspek kehidupan. Termasuk hadirnya Generative Artificial Intelligence yang memberikan tantangan dalam pendidikan.
Baca juga: Mengenal Tujuan 16 SDGs: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan Yang Tangguh
Sisi terakhir, Greg memberi catatan pada soal demokrasi versus populisme. Tantangan demokrasi terkini adalah bagaimana mempertahankan prinsip-prinsipnya di hadapan tekanan otoritarianisme populisme.
ICSGS digelar oleh SKSG Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Alfred Deakin Institute, Deakin University, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Deakin University & Victoria.
Pembicara dan peserta berasal dari berbagai negara, di antaranya dari Jepang, China, Selandia Baru, Pakistan, Malaysia, Turki, Ghana, Indonesia, Australia, Mesir, Selandia Baru, dan Jerman.
Mengambil tempat di Deakin Downtown, ICSGS 2023 diselenggarakan dalam dua hari, pada tanggal 24-25 Juli 2023.
Tema yang diusung pada konferensi adalah "Democracy, Development, and Digital Culture: Building Resilience after Pandemic."
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya