SAMBAS, KOMPAS.com - Medio 2021, Rita (44) mengetahui bahwa ada empat anak perempuan di desanya yang masih duduk di bangku SMP menjadi korban kekeraaan seksual.
Tanpa berpikir dua kali, Rita yang saat itu sudah menjadi anggota satuan tugas (satgas) perlindungan perempuan dan anak (PPA) di desanya, di Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, pasang badan mengawal korban untuk mendapatkan keadilan.
Berbekal berbagai pelatihan yang sudah didapatinya termasuk dari Wahana Visi Indonesia (WVI) sekaligus kesadarannya mengenai perlindungan yang kuat dari undang-undang, Rita pun maju membela para korban.
Baca juga: 16 Tahun Mendampingi, Wahana Visi Indonesia Pamit dari Sambas
Proses hukum ditempuhnya dengan membuat laporan kepada polisi. Dia mengajak para orangtua korban untuk tidak diam saja dan menuntut hukuman kepada pelaku.
Perjuangan Rita untuk mendampingi keempat korban harus ditempuhnya dengan jalur yang berliku. Setelah didalami oleh kepolisian, muncullah nama delapan tersangka.
Dia mengaku sempat mendapatkan bujukan dari orang tak dikenal agar mencabut salah satu laporan yang masuk ke polisi. Orang tak dikenal tersebut mengiming-imingi Rita dengan uang tunai dan kendaraan bermotor.
Namun Rita bergeming. Dia tak tertarik dengan tawaran tersebut dan laporan tetap tidak dicabutnya. Iming-iming tak mempan, Rita gantian mendapatkan ancaman dan intimidasi.
"Saya bilang ke dia, 'bapak bisa mengerahkan banyak orang. Tapi orang kampung siap menjaga saya. Mereka bisa turun semua kalau ada apa-apa'," tutur Rita saat ditemui wartawan di rumahnya, Senin (28/8/2023).
Proses hukum pun berjalan terus. Hingga akhirnya para tersangka diputus bersalah dan dijatuhi hukuman kurungan.
Baca juga: Aparat Penegak Hukum Harus Ramah saat Tangani Korban Kekerasan
Akan tetapi, masalah tidak berhenti sampai di situ. Para korban yang sudah mendapat getah pahit tidak mau melanjutkan sekolahnya.
Rita beranggapan, anak-anak tersebut memiliki masa depan yang panjang dan sudah sepatutnya melanjutkan pendidikannya.
Dia mendorong keempat korban untuk tetap bersekolah hingga lulus. Berulangkali sudah dia membujuk.
Dari keempat korban, tiga di antaranya memilih putus sekolah. Hanya satu yang mau melanjutkan bangku pendidikannya.
Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Harus Dapat Pendampingan dan Perlindungan
Satu korban itu pun sebenarnya tidak mau untuk bersekolah lagi dengan alasan malu. Tapi Rita terus menyemangatinya.
"Janga pedulikan omongan orang, kamu itu korban. Bukan pelaku. Jadi kejar cita-citamu," tutur Rita mengulangi ucapannya.
Salah satu korban itu pun lantas mau tetap bersekolah sampai lulus dan kini melanjutkan pendidikannya ke bangku sekolah menengah atas (SMA).
Kini, Rita pun mengaku siap bila tenaga dan pikirannya kembali dicurahkan bila ada kasus serupa. Namun dia berharap besar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Baca juga: 4,4 Juta PMI Bekerja Tidak Resmi, Rawan Jadi Korban Kekerasan
Perjuangan Rita adalah salah satu potret dari lika-liku satgas PPA di lapangan dalam menangani kasus kekerasan seksual di Kabupaten Sambas.
Menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sambas, jumlah kasus kekerasan seksual mendominasi laporan pengaduan kasus kekerasan terhadap anak.
Pada 2022 saja, dari 65 jumlah aduan yang masuk mengenai kasus kekerasan terhadap anak, 43 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Jumlah tersebut mencatatkan rekor tertinggi dalam laporan yang masuk mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak selama enam tahun terakhir.
Baca juga: Pesantren dan Madrasah Ramah Anak Didorong Demi Cegah Kekerasan
Kepala Dinas P3AP2KB Sambas Fatma Aghitsni mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak memang harus menjadi perhatian bersama.
Pada 2023 jumlah kekerasan seksual terhadap anak cenderung menurun. Akan tetapi, dispensasi pernikahan anak di Pengadilan Agama (PA) Sambas justru melonjak usai batas usia perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Dari awal tahun hingga 25 Agustus 2023, PA Sambas mengabulkan permohonan nikah bagi 133 pasang anak, sekitar 90 persen dari permohonan yg masuk.
"Ini menjadi peringatan, ketika dispensasi nikah itu 90 persen dikabulkan maka akan jadi tantangan yaitu berpotensi menyebabkan anak stunting," kata Fatma kepada wartawan di Kantor Bupati Sambas, Kamis (31/8/2023).
Baca juga: Pemerintah Tawarkan Konsep Pesantren Ramah Anak Bebas Kekerasan
Fatma menuturkan, beberapa faktor penyebab tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti rendahnya tingkat pendidikan, pola pengasuhan, dan perekonomian.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sambas, rata-rata lama sekolah di kabupaten tersebut pada 2022 adalah 6,72 tahun. Angka ini hanya meningkat sepersekian persen dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Rata-rata lama sekolah di Kabupaten Sambas pada 2021 adalah 6,71 tahun sedangkan pada 2020 adalah 6,70 tahun.
Dari segi pola pengasuhan, Fatma menuturkan bahwa dari sebagian besar laporan yang masuk, anak korban kekerasan tidak diasuh oleh orangtua inti, melainkan oleh keluarga terdekat. Sehingga pengawasan terhadap anak dinilai kurang maksimal.
Baca juga: Penyusunan Aturan Pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dipercepat
Berbagai upaya telah dilakukan di Kabupaten Sambas untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual. Salah satunya dalam bentuk regulasi.
Terbaru adalah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sambas Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan.
Sebelumnya, beberapa desa sudah menginisiasi terbitnya peraturan desa (perdes) untuk melindungi anak dari kekerasan.
Salah satu contohnya adalah Desa Sebagu di Kecamatan Teluk Keramat yang merupakan salah satu pelopor penerbitan perdes perlindungan anak.
Dengan dukungan WVI, mereka berhasil menyusun peraturan desa itu hingga dapat disahkan pada 2014.
Bahkan, hingga level masyarakat adat, suku dayak di Kecamatan Sajingan Besar menyepakati dituliskannya Peraturan Adat Perlindungan Anak pada 2021 yang sebelumnya berupa peraturan tidak tertulis.
Dalam Peraturan Adat Perlindungan Anak, ada beberapa peraturan adat yang menghukum pelaku kekerasan seksual sesuai hukum adat yang berlaku.
Baca juga: Hotline 129, Kanal Resmi Aduan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Selama Mudik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya