Kredibilitas pemerintah sangat dipertaruhkan dalam merehabililitasi ekosistem mangrove yang telah rusak.
Merehabilitasi mangrove dalam bentuk penanaman kembali tanaman mangrove (revegetasi) dalam skala luas dan masif (600.000 ha), bukanlah pekerjaan mudah dan mempunyai tingkat kesulitan sangat tinggi.
Salah dalam pemilihan lokasi dan pemilihan jenis yang ditanam akan berakibat fatal dan peluang untuk hidup dan berhasil makin kecil.
Secara teknis penanaman, rehabilitasi mangrove sangat berbeda jauh dengan rehabilitasi hutan di daratan.
Oleh karena itu, kualitas bibit atau anakan mangrove yang tinggi menjadi salah satu kunci keberhasilan penanaman mangrove, di samping pemilihan lokasi dan pemilihan jenis tanaman yang tepat.
Sebelum adanya BRGM yang fokus menangani mangrove, sebenarnya Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) telah lama dan bertahun-tahun melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui unit pelaksana teknis (UPT) di daerah, yakni Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL yang ada di setiap provinsi) meskipun cakupan luas dan seberannya tidak semasif sekarang setelah adanya institusi BRGM.
Bahkan dahulu dibentuk adanya Balai Rehabilitasi Mangrove di Medan (Sumut) dan Denpasar (Bali) yang khusus ditugaskan untuk menangani kegiatan mangrove.
Namun sayang sistem MRV (monitoring, reporting dan verifikasi) yang dibangun oleh KLHK sangat lemah dan sulit diimplementasikan secara transparan.
Publik tidak mendapatkan gambaran utuh berapa sebenarnya luas mangrove (hektare) yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5/10/15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas (hektare) tanaman mangrove pada awal ditanam.
Selama ini, KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana/anggaran yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Sebagai contoh, KLHK melalui Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (sekarang Ditjen Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan/PDASRH), tahun 2020 melakukan penanaman mangrove seluas 15.000 hektare dengan nilai Rp 406,1 miliar di 34 provinsi di Indonesia.
Bukti empiris, saya mendalami tanaman mangrove lebih dari 5 (lima) tahun di Sinjai (Sulsel) dan Muna (Sultra) pada waktu masih bertugas di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (sekarang BPDASHL) 1993-1999, setelah lima tahun sejak ditanam- keberhasilan luas tanaman mangrove tidak lebih dari 30 persen. Itu pun tumbuh secara sporadis dan tidak merata.
Bila terdapat kisah sukses dalam penanaman mangrove, biasanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan luasan dalam skala kecil (kurang dari 10 hektare), dengan pemeliharaan, dan MRV yang sangat kuat dan ketat sehingga menjamin proses tumbuh dan keberhasilan penanaman mangrove.
Bukti nyata adalah penanaman mangrove di Desa Tongke-Tongke Kec. Sinjai Timur, Kab. Sinjai, Sulsel yang dilakukan oleh M. Thoyeb dan diganjar dengan penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya