KOMPAS.com – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dunia hampir kehabisan waktu untuk melawan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Hal tersebut disampaikan Guterres di hadapan para pemimpin sejumlah negara di sela-sela Majelis Umum PBB di New York City, AS, Rabu (20/9/2023).
Guterres mendesak para pembuat kebijakan di level nasional untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sebagai penyebab utama perubahan iklim.
Baca juga: Perang dan Krisis Iklim Ancam Pembangunan, Solidaritas Dibutuhkan
“Peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan sedang terjadi. Namun kita sudah ketinggalan beberapa dekade,” kata Guterres sebagaimana dilansir Reuters.
“Kita harus mengganti waktu yang terbuang dengan menyeret kaki, memutarbalikkan tangan, dan keserakahan dari pihak-pihak yang sudah mengakar dan meraup miliaran dollar dari bahan bakar fosil,” sambungnya.
Sebagai pengakuan, Guterres memberikan kesempatan bagi perwakilan 34 negara yang dinilai melakukan aksi yang kuat terhadap perubahan iklim untuk berbicara dalam pertemuan tersebut. Di antara 34 negara tersebut ada Brasil, Kanada, Afrika Selatan, dan Tuvalu.
Di sisi lain, AS dan China sebagai dua negara teratas penghasil emisi terbesar, tidak diberi kesempatan untuk berbicara, meski Utusan Khusus AS untuk Perubahan Iklim John Kerry hadir.
Baca juga: Perubahan Iklim Kacaukan Capaian SDGs, Solusi Berbasis Sains Semakin Penting
Presiden Kenya William Ruto mendesak negara-negara di dunia untuk menerapkan pajak atas perdagangan bahan bakar fosil untuk membiayai upaya perlawanan perubahan iklim, terutama transisi energi.
Dia juga mendesak adanya pungutan emisi penerbangan dan maritim serta transaksi keuangan.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin mengatakan, negaranya telah menaikkan target pengurangan emisi dari 20 persen menjadi 40 persen di bawah proyeksi business-as-usual (BaU) pada 2030.
“Perubahan iklim adalah prioritas utama pemerintahan saya,” kata Thavisin pada pertemuan tersebut, karena negaranya baru-baru ini membentuk kementerian perubahan iklim.
Baca juga: Dari Indonesia hingga AS, Aksi Iklim Serempak Dilakukan dalam Global Climate Strike 2023
Pertemuan tersebut dilakukan beberapa pekan sebelum KTT Iklim PBB, COP28, yang bakal digelar di Uni Emirat Arab (UEA) pada November mendatang.
Meskipun UEA tidak termasuk di antara negara-negara yang dipilih oleh Guterres untuk membicarakan rencana iklimnya, Presiden COP28 UEA Sultan Ahmed al-Jaber dijadwalkan untuk berbicara.
“Banyak negara-negara termiskin mempunyai hak untuk marah. Marah karena merekalah yang paling menderita akibat krisis iklim yang tidak mereka sebabkan, marah karena pendanaan yang dijanjikan tidak terwujud, dan marah karena biaya pinjaman mereka sangat tinggi,” kata Guterres.
Dengan hanya 70 hari tersisa sebelum COP28 dimulai, pemimpin Barbados mempertanyakan fokus Majelis Umum PBB yang membahas perang di Ukraina.
Baca juga: Perubahan Iklim Picu Krisis Air, Semua Negara Perlu Bergerak
“Saya berharap, sama seperti kita memandang serius Ukraina di Dewan Keamanan PBB, kita juga bisa menanggapi krisis iklim dan pendanaannya dengan serius,” kata Perdana Menteri Barbados Mia Mottley.
Mottley menyampaikan, krisis iklim adalah ancaman yang lebih besar karena mengancam banyak nyawa dibandingkan perang di Ukraina. Meski demikian, dia menegaskan tak ada pembenaran dalam perang yang berkecamuk di Ukraina.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, negara-negara perlu memenuhi target yang sudah lama tidak terpenuhi, yaitu memobilisasi 100 miliar dollar per tahun untuk pendanaan iklim.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Badai Jadi Lebih Sering dan Kuat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya