Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masifnya Tambang Nikel di Sulawesi Picu Deforestasi dan Dampak Lingkungan

Kompas.com - 10/10/2023, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Masifnya pertambangan nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah disebut telah meningkatkan laju deforestasi di provinsi tersebut.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah Sunardi Katili menyampaikan, lebih dari 200.000 hektare lahan di sana dijadikan konsesi untuk pertambangan nikel.

Di satu sisi, selama 18 tahun terakhir, sejak 2001 sampai 2019, deforestasi di Sulawesi Tengah telah mencapai 722.624,05 hektare.

Baca juga: Hilirisasi Nikel Akselerasi Perekonomian Indonesia

Dia menambahkan, ekspansi tambang nikel semakin memperburuk laju defeorestasi di sana.

Hal tersebut disampaikan Sunardi dalam peluncuran kertas kebijakan “Neo-ekstraktivisme di Epicentrum Nikel Indonesia: Kerapuhan Tata Kelola Pertambangan, Kerusakan Ekologis, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Bumi Celebes” yang digelar di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, pada Senin (9/10/2023).

Tingginya deforestasi di sana diduga memicu berupa banjir bandang yang sempat merendam 362 hektare sawah di 8 desa di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Utara pada 2020 silam

"Kejadian serupa terjadi pada 2022, banjir merendam dua desa di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, berdampak kepada 500 keluarga. Sebanyak 350 keluarga di antaranya harus mengungsi," ucap Sunardi sebagaimana rilis yang diterima dari Satya Bumi.

Pada 2023, banjir merendam tujuh desa, dua kecamatan di Kabupaten Morowali Utara, intensitas hujan tinggi mengakibatkan sungai Laa meluap dan berdampak pada 1.833 keluarga.

Baca juga: Jika Terbukti Melanggar, Perusahaan Nikel Bakal Dilaporkan ke Pemerintah

Sementara itu, di Sulawesi Selatan, salah satu konsesi perusahaan tambang nikel terbesar mengancam keberadaan lumbung merica nusantara.

Lumbung merica tersebut berada di Blok anamalia atau Pegunungan Lumereo-Lengkona, tepatnya di Desa Loeha dan Desa Rante Angin dengan total luasan konsesi mencapai 17.776,78 hektare.

Di wilayah konsesi tersebut juga terdapat perkebunan merica milik ribuan masyarakat yang telah diolah sejak dulu di Loeha Raya seluas 4.239,8 hektare.

Selain tu, Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman menyampaikan, salah satu dampak masifnya pertambangan nikel adalah perubahan bentang alam akibat teknik pertambangan open pit.

Perubahan tersebut berupa bukit-bukit yang menjadi rata dan terputusnya aliran sungai bahkan menjadi kering.

Baca juga: Hilirisasi Nikel Jadi Harta Karun Baru, Telapak Kaji 5 Perusahaan Besar

Selain itu, Andi menuturkan aktivitas tambang nikel menyebabkan kekeringan lahan pertanian karena sumber air dikuasai oleh perusahaan tambang.

Peneliti Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra memaparkan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan menunjukkan kecenderungan untuk menyokong tumbuhnya praktik neo-ekstraktivisme.

Dia mencohtohkan dua peraturan yakni pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 dan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Menurut Hayaa, sapaan akrabnya, peraturan tersebut semakin memperkuat arah politik pertambangan dan tata kelola pertambangan yang berpijak pada kemudahan investasi bagi korporasi, namun mengabaikan lingkungan serta hak masyarakat terdampak.

Satya Bumi bersama Aliansi Walhi Sulawesi mengusulkan perlunya reformasi kebijakan tata kelola pertambangan yang berkelanjutan dan berbasis pada hak asasi manusia.

Baca juga: Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim

Satya Bumi dan Aliansi Walhi Sulawesi juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk melakukan moratorium penerbitan izin-izin tambang mineral kritis di Sulawesi.

Mereka juga meminta, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meninjau ulang izin-izin tambang nikel di Sulawesi, khususnya yang mencemari lingkungan dan berkonflik dengan masyarakat.

Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Minerba Ditjen Minerba Kementerian ESDM Dedi Supriyanto mengakui, pemerintah harus melakukan sejumlah perbaikan dalam tata kelola pertambangan.

Perbaikan tata kelola itu dilakukan terutama dengan semakin masifnya ekspansi tambang nikel untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Baca juga: Dukung Kebutuhan Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik, MMP Bangun Smelter dengan Jejak Karbon Rendah

Namun, ujar Dedi, hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM semata, melainkan juga lintas kementerian atau lembaga yang terkait.

Dedi menuturkan, sesuai amanat UU Pasal 33 ayat (3), sumber daya alam benar-benar harus dimanfaatkan dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.

"Jadi penting untuk mengedepankan community engagement untuk menciptakan kepercayaan publik," ujar Dedi.

"Sebagai contoh, tambang di Australia, kalau mereka mau menambang di suatu wilayah itu, harus ada izin dulu dari suku Aborigin. Kalau di Indonesia, ada banyak suku adat. Jadi memang harus ada perbaikan regulasi ke arah sana, mengutamakan kepentingan masyarakat," sambungnya.

Baca juga: Walhi: PLTU Captive di Smelter Nikel Jadi Ironi Transisi Energi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com