Namun faktanya di lapangan (de facto) yang masih mempunyai tutupan hutan (forest coverage) dan mempunyai fungsi sebagai penyerap emisi karbon dan meredam kenaikan suhu bumi tinggal seluas 86,9 juta hektare, yang terdiri dari hutan konservasi (HK) 17,4 juta hektare, hutan lindung 24,0 juta hektare, hutan produksi terbatas (HPT) 21,4 juta hektare, hutan produksi biasa (HP) 17,8 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,3 juta hektare.
Sementara seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan hutan yang sudah tidak mempunyai tutupan hutan, berupa lahan kritis, semak belukar lahan terbuka maupun lahan tidak produktif lainnya.
Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage), namun kawasan hutan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.
Alih fungsi lahan hutan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya laju deforestasi setiap tahunnya.
Pertanyaanya adalah apa yang mesti dilakukan untuk meredam kenaikan suhu bumi sekaligus mengendalikan krisis iklim ini ?
Pertama, langkah preventif, yaitu mempertahankan kondisi hutan dan tutupan hutan yang masih ada. Instruksi Presiden Nomor 5/2020 tentang penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut seluas 66,3 juta hektare menjadi langkah awal mencegah krisis iklim.
Di samping itu, izin-izin alih fungsi hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan (dalam PP 23/2021 diubah menjadi persetujuan pinjam pakai kawasan hutan), perlu seleksi seketat mungkin.
Izin alih fungsi hutan hanya diprioritaskan pada kepentingan yang mendesak dan urgen saja—dengan tidak menambah diskresi “kepentingan mendesak dan urgen” itu.
Pengawasan dan perlindungan hutan lebih ditingkatkan lagi kualitas dan kuantitasnya sehingga menekan laju deforestasi hutan 450.000 hektare setiap tahun.
Pemulihan hutan dengan pengawasan pohon hingga berusia 20 tahun bisa menjadi cara tepat menjaga hutan tropis Indoensia.
Kedua, langkah kuratif, yakni mengembalikan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan menjadi kawasan hutan atau kawasan yang mempunyai tutupan hutan kembali.
Caranya dengan mengintensifkan kegiatan rehabilitasi lahan, baik yang didanai oleh pemerintah maupun swadaya oleh masyarakat.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2024 ada data tentang lahan kritis. Berapa luas lahan kritis di Indonesia sekarang?
Menurut dokumen tersebut, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare pada 2018. Terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.
Luas lahan kritis ini belum memasukkan laju deforestasi tahunan yang rata-rata 450.000 hektare. Sementara lahan kritis kawasan hutan angkanya juga masih tinggi.
Lahan kritis dalam kawasan hutan punya andil besar dalam melepaskan emisi karbon hutan menjadi gas rumah kaca, khususnya di hutan gambut yang rusak dan bekas kebakaran serta mangrove.
Dari 13,34 juta hektare lahan gambut, 2 juta hektare harus dipulihkan. Sedangkan hutan mangrove seluas 3,56 juta hektare, hanya 2,37 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektare rusak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya