Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Alih Fungsi Lahan, Biang Keladi Suhu Panas

Kompas.com - 11/10/2023, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lalu gas rumah kaca dari transportasi sebanyak 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen, dan industri 3 persen.

Akibat pelepasan emisi karbon semakin banyak, suhu bumi naik hampir 1,2 derajat celcius dibanding masa praindustri 1800-1850.

Akibatnya adalah gelombang panas, suhu dan cuaca ekstrem, musim yang menyeleweng, badai, topan, curah hujan yang intens, dan bencana hidrometeorologi lain yang acap terjadi selama 2022.

Sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia, pengelolaan hutan Indonesia jelas berpengaruh pada hilangnya simpanan karbon menjadi gas rumah kaca penyebab krisis iklim.

Alih fungsi hutan (deforestasi), baik oleh penebangan, pembakaran, atau penggundulan untuk tujuan nonkehutanan menjadi penyebab utama hilangnya karbon hutan.

Pemanasan suhu bumi, kenaikan muka air laut, terjadinya banjir dan juga badai karena perubahan iklim akan membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami bagi berbagai spesies binatang, tanaman, dan berbagai organisme lain.

Perubahan habitat akan menyebabkan punahnya berbagai spesies, baik binatang maupun tanaman, seperti pohon-pohon besar di hutan yang menjadi penyerap utama karbon dioksida.

Hal ini disebabkan mereka tidak sempat beradaptasi terhadap perubahan suhu dan perubahan alam yang terjadi terlalu cepat.

Punahnya berbagai spesies ini, akan berdampak lebih besar lagi pada ekosistem dan rantai makanan.

Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak sekaligus penyebab perubahan iklim. Akibat terbakar, simpanan karbon hutan menjadi terlepas ke atmosfer sebagai gas rumah kaca.

Pohon-pohon yang mati karena perubahan tata guna hutan, ataupun karena mengering dengan sendirinya akibat meningkatnya suhu dalam perubahan iklim, akan melepaskan karbon dioksida dan gas rumah kaca lain lebih banyak ke udara.

Kenaikan suhu dan curah hujan bisa meningkatkan penyebaran wabah penyakit yang mematikan, seperti malaria, kolera dan demam berdarah.

Hal ini disebabkan karena nyamuk pembawa virus-virus tersebut hidup dan berkembang biak pada cuaca yang panas dan lembab.

Rusaknya lapisan ozon menyebabkan peningkatan intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi penyebab kanker kulit, katarak, dan penurunan daya tahan tubuh sehingga manusia menjadi rentan terhadap penyakit.

Manusia menjadi lebih rentan terhadap asma dan alergi, penyakit kardiovaskular, jantung dan stroke. Suhu yang terlalu panas dan berkurangnya ketersediaan air akan menghambat produktivitas pertanian.

Perubahan iklim juga akan mengakibatkan perubahan masa tanam dan panen ataupun menyebabkan munculnya hama dan wabah penyakit pada tanaman yang sebelumnya tidak ada.

Kondisi ini seharusnya mengingatkan kita untuk lebih giat melindungi hutan. Rimbawan menjadi garda depan perlindungan hutan hujan tropis kita.

Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.

Sementara itu, APL luasnya 67,5 juta hektare yang masih memiliki tutupan hutan seluas 6,4 juta hektare yang terdiri dari hutan primer 1,5 juta hektare dan hutan sekunder 4,9 juta hektare.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com