Para peneliti mencatat bahwa tidak semua generasi muda mengalami dampak kesehatan mental akibat perubahan iklim dengan cara yang sama.
Orang-orang dari latar belakang yang terpinggirkan atau berpenghasilan rendah lebih mungkin terkena cuaca ekstrem.
Dibandingkan dengan masyarakat di wilayah yang lebih kaya, mereka mungkin juga memiliki lebih sedikit cara untuk menghadapi cuaca ekstrem.
Misalnya, kata Clayton, masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung memiliki lebih banyak tutupan akibat panas.
Baca juga: Bali Harap KTT AIS Sepakati Komunike Perkuat Mitigasi Perubahan Iklim
Di sisi lain, laporan tersebut juga menyebutkan beberapa rekomendadi solusi untuk membatasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental remaja.
Salah satunya adalah agar sistem sekolah memainkan peran yang lebih besar, termasuk merancang fasilitas yang lebih protektif dan mengajarkan kurikulum tentang perubahan iklim.
Para profesional layanan kesehatan juga dapat melakukan skrining secara dini dan teratur terhadap tekanan terkait perubahan iklim di kalangan generasi muda.
Stolle mengatakan, perlu semakin banyak psikolog klinis yang menangani orang-orang yang memiliki kecemasan terhadap perubahan iklim.
“Psikolog klinis kini berada di garis depan dalam merawat pasien yang menderita masalah ini,” tulisnya dalam emailnya.
Namun bagi Clayton, ini bukan hanya masalah bagi para profesional layanan kesehatan.
“Ini mempengaruhi kita semua. Anak-anak adalah masa depan masyarakat. Kami ingin membuat informasi tentang masalah ini dan cara-cara potensial untuk mengatasinya tersedia bagi kelompok yang ingin mengaksesnya,” ucap Clayton.
Baca juga: Penanggulangan Perubahan Iklim Perlu Fokus ke Desa Pesisir dan Pulau
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya