KOMPAS.com – Restorasi hutan diiringi dengan memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi dua kunci utama dalam upaya melawan perubahan iklim.
Kunci perlawanan perubahan iklim tersebut tertuang dalam studi terbaru berjudul “Integrated global assessment of the natural forest carbon potential” yang diterbitkan di jurnal Nature, Senin (13/11/2023).
Penelitian tersebut melibatkan lebih dari 200 peneliti lintas negara di seluruh dunia.
Baca juga: Partai Politik Indonesia Tak Pertimbangkan Rekomendasi IPCC untuk Atasi Perubahan Iklim
Menurut penelitian tersebut, merestorasi hutan dapat menyerap 22 kali lebih banyak karbon dari emisi dunia dalam satu tahun.
Jika hutan di seluruh dunia berhasil direstorasi, Bumi akan menghilangkan sekitar 226 gigaton kelebihan karbon dari atmosfer.
Jumlah tersebut sekitar sepertiga jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer sejak revolusi industri.
Restorasi tersebut dilakukan baik dengan membiarkan hutan yang terdegradasi tumbuh kembali atau dengan menghutankan kembali kawasan yang gundul. Akan tetapi, tidak mencakup kawasan yang penting untuk pertanian atau sudah berubah menjadi kota.
Meski demikian, restorasi hutan saja dinilai tidak cukup untuk melawan perubahan iklim. Upaya pengurangan emisi juga harus dilakukan seiring sejalan.
Baca juga: Percepatan Aksi Iklim Penting Guna Mewujudkan Emisi Nol Bersih
Ahli ekologi dari Federal Institute of Technology Zurich sekaligus salah satu penulis utama studi tersebut, Thomas Crowther, menyampaikan, restorasi hutan dan pemangkasan emisi harus dilakukan bersama-sama.
“Tidak ada pilihan antara alam dan dekarbonisasi. Kita harus mengambil langkah-langkah untuk mencapai keduanya secara bersamaan,” kata Crowther, sebagaimana dilansir Reuters.
Penelitian terbaru ini menunjukkan, meski hutan dapat membantu memerangi perubahan iklim, namun hanya mengandalkan penggunaan hutan untuk mengimbangi emisi GRK di masa depan akan menjadi kontraproduktif, kata Crowther.
Emisi tambahan apa pun yang dilepaskan akan memperburuk perubahan iklim dan cuaca ekstrem, merusak hutan, dan mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap karbon.
Baca juga: Krisis Iklim Makin Parah, Dunia Berada di Titik Kritis
Oleh karenanya, skema penyeimbang karbon atau carbon offset menjadi sia-sia untuk melawan perubahan iklim jika emisi GRK masih saja dikeluarkan.
Crowther menuturkan, wacana untuk mendapatkan kompensasi hanya dengan menanam pohon bertentangan dengan apa yang dikatakan sains.
Crowther pun berencana menghadiri KTT iklim PBB COP28 mendatang di Dubai untuk menyampaikan pesan tersebut kepada para pembuat kebijakan.
“Studi ini harus menjadi makalah yang bisa menghentikan greenwashing,” kata Crowther kepada Reuters.
Baca juga: Daftar Indikator Tujuan 13 SDGs Penanganan Perubahan Iklim
Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian sebelumnya pada 2019 yang juga ditulis oleh Crowther beserta sekitar 40 ilmuwan lainnya.
Dalam penelitian sebelumnya, 205 gigaton emisi GRK dapat diserap melalui restorasi hutan.
CEO Salesforce Marc Benioff membaca penelitian tersebut dan terinspirasi untuk bekerja sama dengan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) untuk mengembangkan inisiatif penanaman 1 triliun pohon.
Inisiatif tersebut dengan cepat didukung oleh Presiden AS saat itu, Donald Trump. Akan tetapi, inisiatif itu memicu kontroversi di kalangan ilmuwan dan pemerhati lingkungan.
Banyak ilmuwan mengatakan bahwa menanam pohon dianggap sebagai solusi yang terlalu sederhana untuk mengatasi krisis iklim.
Sekadar upaya penanaman pohon juga dapat mengalihkan perhatian dari upaya mengurangi emisi GRK dari bahan bakar fosil, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim.
Crowther mengatakan, inisiatif dan tanggapan untuk menanam 1 triliun pohon menyimplifikasi secara drastis dari penelitian tahun 2019.
Baca juga: Gelar Pesta Rakyat Flobamoratas, Pemuda NTT Suarakan Krisis Iklim
Di sisi lain, penelitian terbaru dari Crowther dan koleganya juga masih mendapatkan kritik.
Joseph Veldman, ahli ekologi di Texas A&M University, mengatakan bahwa menurutnya, penelitian terbaru tersebut masih melebih-lebihkan berapa banyak karbon yang dapat diserap oleh upaya restorasi hutan.
Veldman menyampaikan, angka 226 gigaton tersebut termasuk karbon yang disimpan di tempat-tempat yang “tidak pantas” untuk ditanami pohon.
Crowther mengatakan, meskipun penelitian saat ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan di mana pohon dapat ditanam, bukan berarti pohon tersebut harus ditanam di sana.
Para penulis studi tersebut menggarisbawahi bahwa restorasi harus dilakukan dengan cara tertentu agar efektif.
Mereka berpendapat, hutan harus memiliki keanekaragaman, bukan penanaman massal hanya untuk satu spesies saja, dan restorasi harus memenuhi kebutuhan masyarakat lokal.
“Pesan yang dapat diambil – bahwa hutan yang kita miliki harus dilindungi – sangatlah mendasar dan benar,” kata ahli ekologi Nicola Stevens dari University of Oxford, yang ikut menulis kritik terhadap studi Crowther sebelumnya.
Baca juga: 13 Musisi Indonesia Bersatu Suarakan Aksi Iklim, Luncurkan Album “sonic/panic”
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya