Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/11/2023, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.comKrisis iklim yang terjadi di Bumi semakin parah dan dunia sedang berada di titik kritis lingkungan hidup.

Peringatan tersebut disampaikan oleh UN University's Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS), sebuah badan penelitian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam laporan berjudul “Interconnected Disaster Risks” yang diterbitkan pada Rabu (25/10/2023).

UNU-EHS dalam laporannya memperingatkan, titik kritis saat ini bisa menyebabkan kerusakan permanen terhadap pasokan air dan sistem pendukung kehidupan lainnya.

Baca juga: Gelar Pesta Rakyat Flobamoratas, Pemuda NTT Suarakan Krisis Iklim

Perubahan iklim dan penggunaan sumber daya yang berlebihan telah menempatkan dunia di ambang enam titik kritis yang saling berhubungan.

Penulis utama laporan tersebut, Jack O’Connor, menuturkan jika Bumi melampaui titik kritis, keseimbangan sistem akan terganggu.

“Dan ada risiko baru yang menyebar, dan risiko baru ini dapat berpindah ke sistem lain,” kata O’Connor, sebagaimana dilansir Reuters.

“Kami memperkirakan hal ini akan terjadi karena di beberapa wilayah tertentu hal ini sudah terjadi,” sambungnya.

Baca juga: 13 Musisi Indonesia Bersatu Suarakan Aksi Iklim, Luncurkan Album “sonic/panic”

“Interconnected Disaster Risks” diterbitkan beberapa pekan sebelum KTT Iklim COP28 digelar di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), pada akhir November hingga awal Desember.

Laporan tersebut mengidentifikasi percepatan laju kepunahan, penipisan air tanah, pencairan gletser, dan panas ekstrem sebagai ancaman utama yang saling berhubungan.

Laporan ini memperingatkan bahwa 1 juta tanaman dan hewan bisa punah hanya dalam beberapa puluh tahun mendatang.

Selain itu, hilangnya spesies-spesies penting akan memicu kepunahan spesies-spesies lain, hal yang meningkatkan kemungkinan keruntuhan ekosistem.

Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan Badai Menguat dengan Cepat

Banyak akuifer terbesar di dunia sudah terkuras lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk mengisinya kembali. Arab Saudi, India, dan Amerika Serikat (AS) sudah menghadapi risiko besar.

“Panas menyebabkan kita mengambil lebih banyak air tanah karena kekeringan,” kata Caitlyn Eberle, penulis lain dalam laporan “Interconnected Disaster Risks”.

“Banyak dari gletser di Pegunungan Rocky, Himalaya, dan Andes mencair dan mengalir ke sungai-sungai serta sistem air tanah. Sehingga ketika gletser-gletser tersebut hilang, maka semakin sedikit air yang tersedia,” sambungnya.

Pada titik kritis lainnya, memburuknya bahaya akibat krisis iklim membuat asuransi menjadi tidak terjangkau.

“Jika titij ini terlampaui, masyarakat tidak akan mempunyai jaring pengaman ekonomi ketika terjadi bencana,” kata laporan itu.

Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Kehidupan Tumbuhan Jadi Punah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau