KOMPAS.com - Perubahan iklim yang menerpa Bumi membuat teori tentang periode La Nina dan El Nino menjadi tidak lagi relevan.
Hal tersebut dipaparkan Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A Fachri Radjab, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (6/12/2023).
"Teori yang selama ini dipelajari, ada periode pengulangan selama lima sampai enam tahun antara La Nina dan El Nino. Akan tetapi, ternyata selama lima tahun teori itu sudah tidak berlaku lagi," kata Radjab.
Baca juga: 3,46 Juta Keluarga Terancam Kekeringan akibat El Nino
Radjab mencontohkan, pada 2020, 2021, dan 2022, Indonesia mengalami La Nina selama tiga tahun berturut-turut.
Ini berarti mendapat kelebihan air akibat hujan terus-menerus. Fenomena seperti itu hanya terjadi pada 50 tahun lalu.
"Jadi, sekali lagi teori periode La Nina dan El Nino terjadi dalam lima tahun atau enam tahun sepertinya sudah tidak relevan lagi sekarang," ujar Radjab.
Radjab menambahkan, perubahan iklim adalah isu global yang sangat disorot.
Baca juga: Mangrove Dapat Memitigasi dan Adaptasi Dampak Buruk El Nino
Pasalnya, kesalahan memitigasi perubahan iklim merupakan risiko global nomor satu dan nomor dua yang memengaruhi ekonomi global dalam jangka panjang.
"Perubahan iklim kami amati dalam beberapa parameter. Secara global naik terus dan perubahan iklim adalah kenyataan," ucap Radjab,
"Contohnya karbon dioksida, emisi gas sudah sekitar 149 persen lebih tinggi dibanding ketika masa pra-industri," sambungnya.
Indikator lainnya, kata Radjab, adalah perubahan suhu global. Sejak 1960-an hingga awal 2000 terjadi lonjakan tajam dengan laju sangat cepat.
Baca juga: Puncak El Nino Belum Terjadi, Suhu Panas Sudah Sangat Terasa
Menurut dia, hal tersebut ada kaitannya dengan agraria sebab pertanian berkaitan dengan erat dengan air.
"Ketika musim hujan, ancamannya terjadi longsor dan banjir. Sementara itu, musim kemarau terjadi kekeringan dan suhu tinggi. Jadi, kita waspada pada musim dingin dan musim hujan. Kebanyakan air gagal panen, kekurangan air juga enggak bisa panen," tutur Radjab.
Lebih lanjut, dia menjabarkan hasil penelitian BMKG bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami fenomena tanpa hujan selama 65 hari berturut-turut.
"Pada tahun ini selama 141 hari berturut-turut tanpa hujan.Rekornya ada di NTT selama 207 hari tanpa hujan. Nah, ini tantangan petani kalau mau menanam," kata Radjab.
Baca juga: Antisipasi Kekurangan Beras Dampak El Nino, Begini Strategi Pemerintah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya