JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap tahun, sebanyak 250 juta ton limbah plastik, tidak tertangani, walaupun telah ada kemajuan dalam teknologi daur ulang,
Demikian Direktur Roland Berger Dragos Popa menuturkan sebuah studi berjudul Plastic Waste Management Framework yang dirilis Alliance to End Plastic Waste bersama Roland Berger.
Demi mendukung Alliance to End Plastic Waste dalam pengembangan Plastic Waste Management Framework, Roland Berger berkontribusi dengan berbagi kerangka kerja properti, basis data, serta pengetahuan dan keahlian khusus di bidangnya untuk menyusun pembelajaran kunci dari jaringan proyek dan mitra proyek global Alliance.
Mereka menyoroti peluang untuk meningkatkan pengumpulan dan daur ulang plastik secara signifikan di seluruh dunia.
Baca juga: Djarum Paparkan Inisiatif Pengolahan Sampah Organik di COP28
Studi ini juga memaparkan serangkaian kebijakan dan tindakan yang dapat membantu mengembangkan rencana aksi nasional guna meningkatkan sistem pengelolaan sampah dan mendorong perubahan menuju sistem yang lebih baik.
Dalam meta-analisis ini, 192 negara diklasifikasikan menjadi enam kategori berdasarkan tingkat kematangan pengelolaan sampah plastik dan daur ulang.
Kategori ini mencakup:
• Kategori 1 (Sistem yang Belum Berkembang): Negara-negara tanpa atau dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang sangat dasar, dengan tingkat daur ulang plastik maksimal 5 persen.
• Kategori 2 (Sistem yang Sedang Berkembang): Negara-negara dengan regulasi dasar terkait sampah, namun infrastruktur pengumpulan dan perlakuan akhir terbatas, dengan tingkat daur ulang plastik maksimal 10 persen.
• Kategori 3 (Sistem yang Berkembang): Negara-negara dengan sistem pengelolaan sampah yang berfungsi dengan baik, tetapi kegiatan pengumpulan, pengurutan, pembakaran, dan daur ulang hanya dilakukan sejauh yang memberikan keuntungan ekonomi, dengan tingkat daur ulang maksimal 15 persen.
• Kategori 4 (Sistem yang Beroperasi, Sebagian Besar Tanpa Regulasi): Negara-negara dengan tingkat daur ulang mendekati 25 persen yang dipengaruhi oleh aturan tertentu.
• Kategori 5 (Sistem Memadai dengan Tantangan): Negara-negara yang dapat mencapai tingkat daur ulang plastik hingga 40 persen, meski masih menghadapi kendala di beberapa tahap dalam rantai nilai.
• Kategori 6 (Sistem yang Telah Berkembang dengan Baik): Negara-negara yang mencapai tingkat daur ulang lebih dari 40 persen dan menunjukkan praktik terbaik yang bisa menjadi contoh bagi negara lain.
Lebih dari 60 persen dari semua negara memiliki sistem pengelolaan sampah yang belum matang atau baru mulai berkembang, dan mendaur ulang kurang dari 8 persen dari sampah plastik yang dihasilkan.
Baca juga: Dukung Ekonomi Sirkular, Kemenkeu Resmikan Program Pengelolaan Sampah
Negara-negara dalam Kategori 1 dan 2 memiliki peluang besar untuk menghentikan kebocoran sampah plastik ke lingkungan, dengan sektor informal, para pengumpul sampah yang memainkan peran kunci dan seharusnya mendapat pengakuan dan dukungan yang layak.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas atau Extended Producer Responsibility (EPR) menjadi salah satu alat kebijakan paling efektif untuk meningkatkan tingkat daur ulang secara menyeluruh.
Bagi negara-negara Kategori 3, 4, dan 5, EPR menegakkan tanggung jawab bersama di sepanjang rantai nilai plastik. Uang yang dikumpulkan dari biaya EPR dapat digunakan untuk meningkatkan solusi pengelolaan sampah dan daur ulang.
Beberapa negara dalam Kategori 5 dan 6 telah maju dalam menciptakan lingkaran lengkap dalam penggunaan plastik, dan mereka dapat memanfaatkan perencanaan kebijakan yang komprehensif untuk mencapai sirkularitas dalam segala jenis sampah.
Negara-negara ini dapat mendorong inovasi seperti penyortiran dan pelacakan sampah plastik yang sangat detail untuk menyediakan pasokan yang efisien bagi ekonomi daur ulang.
Dalam konteks ini, skema EPR harus mendorong penggunaan prinsip desain yang mendukung sirkularitas.
Studi ini menyoroti keragaman kondisi nasional dan sub-nasional di berbagai negara, dengan tingkat pengelolaan sampah dan kemampuan teknis yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, prioritas kebijakan dan infrastruktur harus mempertimbangkan keragaman ini dan ketersediaan sumber daya untuk membawa perubahan dalam sistem.
Baca juga: Potret Sampah 6 Kota, Ini Paparan Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium
Presiden dan CEO Alliance to End Plastic Waste Jacob Duer menjelaskan, selama dekade terakhir, penggunaan plastik terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi global.
Meskipun demikian, 70 persen dari seluruh sampah plastik masih dibuang dengan sia-sia, mencemari lingkungan, berakhir di tempat pembuangan sampah, atau dibakar.
Namun demikian, setiap negara memiliki peluang untuk memperbaiki situasi ini dengan menetapkan prioritas dan menemukan solusi sesuai dengan tingkat kematangan mereka dalam pengelolaan sampah, sejalan dengan visi ekonomi yang berkelanjutan.
“Resolusi Majelis Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengembangkan instrumen hukum internasional mengenai polusi plastik dapat menjadi kontributor utama dalam menetapkan prioritas ini," ujar Duer.
Sebagaimana diungkapkan dalam kerangka kematangan pengelolaan sampah yang dipublikasikan oleh the Alliance, tidak ada solusi baku yang cocok untuk semua, namun terdapat kebijakan yang dapat digunakan di berbagai tingkat untuk mendorong perubahan cepat menuju pola pikir yang berkelanjutan terhadap penggunaan plastik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya