KOMPAS.com – Dunia masih menghadapi ancaman nyata perubahan iklim. Berbagai fenomena dan bencana akibat krisis iklim silih berganti menerpa dunia.
Saat emisi gas rumah kaca (GRK) terus meningkat dan bencana alam yang menimbulkan kehancuran di seluruh dunia, kecemasan terhadap perubahan iklim adalah hal yang wajar.
Namun, harapan untuk mencegah Bumi semakin memanas dan melawan krisis iklim tidak hilang.
Sejak Perjanjian Paris ditandatangani, sudah ada lima perubahan besar dalam kehidupan manusia untuk semakin sadar dalam melawan perubahan iklim.
Dari implementasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga mobilitas listrik, berikut lima perubahan besar menurut penelitian yang dilakukan oleh NewClimate Institute, sebagaimana dilansir Euronews.
Baca juga: Apa Saja yang Dikatakan Capres-Cawapres soal Perubahan Iklim dan Transisi Energi?
10 tahun lalu, hanya sebagian masyarakat yang sadar dan peduli terhadap perubahan iklim. Namun, perlahan semua berubah dan wacana mengenai perubahan iklim semakin sering dibahas.
Pada 2014, survei BBC yang mencakup 17 negara di seluruh dunia menunjukkan, 40 persen responden menganggap perubahan iklim sebagai masalah serius.
Pada 2020, jumlah orang yang menganggap perubahan iklim sebagai masalah serius meningkat menjadi 60 persen.
Survei lebih luas, yang dilaksanakan pada 2021 oleh UNDP dan Universitas Oxford di 50 negara, menunjukkan perubahan yang lebih nyata.
Di Eropa Timur dan Asia Tengah, 85 persen responden menganggap perubahan iklim sebagai keadaan darurat global.
Sebanyak 72 persen penduduk Eropa Barat dan Amerika Utara setuju bahwa perubahan iklim adalah keadaan darurat global.
Proporsi kesepakatan yang besar juga terjadi di beberapa wilayah seperti 64 persen penduduk di negara-negara Arab, 63 persen penduduk di Amerika Latin, Karibia, dan Asia Pasifik, serta 61 persen penduduk di Afrika Sub-Sahara.
Isu perubahan iklim kini menjadi wacana publik dan politik di seluruh dunia. Meningkatnya liputan media mengenai isu-isu iklim telah membekali masyarakat dengan pengetahuan tentang penyebab dan dampaknya.
Di negara-negara yang sudah merasakan dampak perubahan iklim, kurva pembelajaran mengenai perubahan jauh lebih tinggi.
Seiring dengan semakin kuatnya wacana perubahan iklim dan gerakan sosial, tekanan terhadap pemerintah dan dunia usaha untuk mengambil tindakan menjadi semakin meningkat.
Baca juga: Siapa Capres-Cawapres yang Fokus Bahas Perubahan Iklim dan Transisi Energi?
Mulai dari pemerintah hingga perusahaan besar menargetkan netralitas karbon atau net zero emission (NZE). Sebelumnya, hanya ada satu negara yang menetapkan target NZE pada 2015 yaitu Bhutan.
Kini lebih dari 90 negara, yang berkontribusi hampir 80 persen emisi global, telah menetapkan target NZE.
Di masa lalu, perdebatan kebijakan berpusat pada pengurangan emisi bertahap dan trade-off antarsektor dan negara.
Kini, perekonomian yang sepenuhnya terdekarbonisasi menjadi visi utama, termasuk di negara-negara Selatan.
Baca juga: Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Pemerintah Perkuat Ekosistem Karbon Biru
Sebelum Perjanjian Paris, perubahan iklim merupakan topik yang jarang dibahas di kalangan investor dan dunia usaha. Kini, ada tekanan untuk mengakui perubahan iklim sebagai ancaman serius.
Peluang rendah karbon semakin populer dan inovasi ramah lingkungan mendorong perubahan dalam model bisnis tradisional.
Permintaan akan investasi berkelanjutan sedang meningkat. Pada 2021, 84 persen pemilik aset secara global dilaporkan menerapkan atau mengevaluasi strategi investasi berkelanjutan dibandingkan dengan sekitar 53 persen pada tiga tahun sebelumnya.
Kesepakatan transisi dari bahan bakar fosil dalam COP28 juga mendorong pendanaan menjauh dari sumber energi yang mencemari lingkungan menuju energi terbarukan.
Dan dengan semakin pahamnya masyarakat dan pemerintah terhadap kampanye greenwashing, semakin sulit bagi perusahaan untuk mengabaikannya.
Baca juga: Kanada Kucurkan Dana Perubahan Iklim untuk NTT Rp 195 Miliar
Di masa lalu, energi terbarukan tidak dapat bersaing dengan bahan bakar fosil dalam hal biaya dan pasokan. Semuanya berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Sistem tenaga listrik beralih ke model yang fleksibel dan terdesentralisasi yang mencakup tenaga angin, tenaga surya, dan tenaga air.
Kecepatan transisi ini telah melampaui ekspektasi. Terjadi penurunan biaya pembangkitan listrik dari PLTS dan pembangkit listrik netaga bayu (PLTB) antara 60 hingga 90 persen dalam 10 tahun terakhir.
Energi baru kini lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil di 90 persen negara di dunia.
Baca juga: Kanada Kucurkan Dana Perubahan Iklim untuk NTT Rp 195 Miliar
Mulai dari peralatan rumah tangga hingga mobil listrik, elektrifikasi telah menjadi inti strategi dekarbonisasi dunia.
Mobil bermesin pembakaran mulai dihapuskan secara bertahap di beberapa negara dan wilayah.
Kemajuan dalam penyimpanan baterai mulai mengatasi beberapa hambatan. Dalam 10 tahun terakhir, baterai lithium-ion telah menjadi layak secara komersial dan harganya turun hingga 80 persen.
Inovasi dan investasi juga membantu melakukan dekarbonisasi pada sektor-sektor yang sulit dikurangi emisi karbonnya seperti pelayaran dan industri berat.
Baca juga: Menurut Basuki, Bendungan Bisa Atasi Ancaman Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya