KOMPAS.com - Selain dapat memengaruhi tanaman pangan, seperti padi dan jagung, kini krisis iklim disebut dapat mengancam gula.
Meningkatnya suhu global memicu kekeringan dan cuaca ekstrem lainnya yang mempengaruhi hasil pangan, termasuk gula.
Saat ini, harga gula global melonjak tinggi karena rendahnya tingkat produksi di India dan Thailand, sebagaimana dilansir The Guardian, Jumat (5/12/2024).
Baca juga: Suarakan Darurat Iklim, 8 Musisi Bakal Konser di Malang
India mengalami musim kemarau ekstrem yang mengancam tanaman pangan sedangkan Thailand menghadapi kekeringan parah.
Di Amerika Serikat (AS), harga gula dan permen naik sebesar 8,9 persen pada 2023 dan diperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 5,6 persen pada 2024.
Pada November 2023, Mondelez, sebuah bisnis besar yang mencakup merek Cadbury, Oreo, dan Toblerone, memperingatkan kenaikan harga produk-produknya.
Gernot Wagner, ekonom iklim di sekolah bisnis Universitas Columbia, memperingatkan perusahaan-perusahaan besar memiliki beragam alasan untuk menaikkan harga produknya.
Baca juga: 4 Cara AI Bantu Lawan Perubahan Iklim
"Cuaca ekstrem mempengaruhi makanan – setahun yang lalu alpukat, sekarang gula," kata Wagner.
Permasalahan dalam produksi gula diperparah oleh ancaman pembatasan ekspor dari negara-negara produsen gula. Pasalnya, mereka melakukan pembatasan untuk menjaga stok komoditas gula mereka di dalam negeri.
Sementara itu menurut Joseph Glauber, peneliti senior di International Food Policy Research Institute, dampak paling parah akan dirasakan oleh negara-negara berkembang dan petani.
"Tidak diragukan lagi harga gula saat ini sangat, sangat tinggi, dan akan tetap tinggi sampai El Nino mereda," kata Glauber.
Baca juga: Antisipasi Krisis Iklim, Brussels Berencana Jadi Kota Ramah Pedestrian
"Ada kekhawatiran mengenai dampak perubahan iklim dalam jangka panjang dengan perpindahan area tanam dan volatilitas harga barang-barang seperti beras dan gula yang lebih tinggi," sambung Glauber.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemanasan global akan sangat menghambat kemampuan beberapa negara seperti China untuk menanam padi sesuai kemampuan sebelumnya.
Pada peneliti juga menemukan bahwa produksi jagung global dapat merosot sebesar 24 persen pada 2030.
Secara keseluruhan, inflasi pangan di seluruh dunia bisa mencapai 3 persen per tahun pada 2030-an karena krisis iklim jika upaya adaptasi besar-besaran tidak dilakukan.
Baca juga: BMKG: Iklim Indonesia Sepanjang Tahun 2024 Ada pada Fase Netral
Guncangan harga gula yang terjadi saat ini merupakan pengingat bahwa asumsi-asumsi sebelumnya mengenai produksi pangan harus dievaluasi, jelas Wagner.
"Tanaman pangan kita pada dasarnya dioptimalkan untuk kondisi cuaca selama 10.000 tahun terakhir – iklim yang relatif stabil yang sekarang kita tinggalkan," ucap Wagner.
Wagner menyampaikan, beberapa tanaman pangan penting tidak akan mengalami penurunan secara linear ketika suhu meningkat. Sebaliknya, ada tanaman yang bisa jatuh drastis akibat cuaca ekstrem.
"Saya tidak begitu khawatir mengenai konglomerat makanan besar yang akan membuat harga Oreo lebih mahal dibandingkan dengan saya sebagai konsumen yang hidup di pinggiran serta para petani miskin yang kehidupan dan penghidupannya akan musnah," paparnya.
Baca juga: 5 Kabar Besar soal Perubahan Iklim Sepanjang Tahun 2023
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya