KOMPAS.com - Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan target 32 persen atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030.
Target ini akan mendorong peningkatan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), salah satunya yang akan diwujudkan melalui komoditas nikel.
Berdasarkan data Badan Geologi pada 2020, Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
"Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Maluku Utara khususnya, menjadi tempat cadangan terbesar nikel di dunia yaitu 52 persen atau sekitar 72 juta ton nikel," ujar peneliti The Prakarsa Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan Ricko Nurmansyah, dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Baca juga: Ironis, Bank Eropa Danai Industri Nikel yang Dianggap Merusak Lingkungan
Dengan adanya kecenderungan peningkatan produksi kendaraan listrik di dunia, nikel dapat menunjang kemajuan ekonomi Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar.
Ricko menjelaskan, industri pertambangan bijih nikel dan produk olahannya memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara.
Penerimaan pajak yang diterima negara dari sektor ini mencapai Rp 2,97 triliun pada tahun 2020. Sementara Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti yang diterima negara pada 2020 mencapai Rp 2,92 triliun dan mengalami peningkatan hingga Rp 4,18 triliun pada 2022.
Realisasi PNBP SDA non-migas hingga Mei 2022 telah mencapai Rp 31,67 triliun. Ini artinya nikel telah memberikan kontribusi sebesar 13,19 persen terhadap realisasi PNBP SDA non-migas.
Baca juga: Masifnya Tambang Nikel di Sulawesi Picu Deforestasi dan Dampak Lingkungan
"Sulawesi Tengah menjadi lokasi tujuan investasi utama pada tahun 2019-2022 sebesar 16,4 persen dari total Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk atau sebesar 7,5 miliar dollar AS," cetus Ricko.
Sayangnya, bagi wilayah di Indonesia yang menjadi pusat industri pertambangan nikel seperti Morowali, Sulawesi Tengah, sebanyak 95,65 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Morowali pada 2022 justru mengalir keluar daerah tersebut.
Kendati produksi baterai untuk kendaraan listrik sudah mulai berjalan di Indonesia, namun bahan baku inti berupa nikel sulfat justru tidak berasal dari Indonesia.
"Bagaimana posisi nikel di Indonesia? Jadi nikel yang dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik itu nikel sulfat. Ternyata kita belum bisa memproduksi nikel sulfat sampai 2022. Tahun 2023 kabarnya sedang diusahakan," kata Ricko.
Hingga saat ini, Indonesia hanya mampu memproduksi nikel taraf Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) atau satu tahap sebelum nikel sulfat.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Berulang di Smelter Nikel, Walhi: Pemerintah Abai
Sebaliknya, Indonesia justru lebih banyak mengimpor dibandingkan ekspor nikel sulfat. Pada tahun 2017, Indonesia mengekspor sebanyak 871 kilogram dengan nilai perdagangan 12,8 juta dollar AS.
Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor lebih besar lagi, yaitu mencapai 776 ton nikel sulfat dengan nilai perdagangan 2,56 miliar dollar AS.
Tak hanya itu, Ricko menjelaskan, nikel di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kendaraan listrik juga masih sangat kecil atau hanya sekitar satu persen.
Sedangkan sebagian besar pemanfaatan nikel untuk diekspor dalam bentuk medium (setengah jadi) adalah 80 persen. Bahan setengah jadi itu diekspor ke China untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan stainless steel.
"Ekspor kita sebagian besar adalah ke China, dan sekitar 17.456 ton sebagai bahan dasar pembuatan stainless steel," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya