Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (II)

Kompas.com - 11/01/2024, 20:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Rudi Hartono (38) sudah tidak ingat kapan pertama kali menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (pemilu). Terakhir kali dia memberikan suaranya pada Pemilu 2019.

Penyandang disabilitas intelektual ragam down syndrome ini mencoba mengais ingatannya kala itu. Sejurus kemudian, dia menyebutkan nama salah satu capres yang dicoblosnya waktu di bilik suara pada 2019.

Untuk pemilu tahun 2024, warga Gelenan RT 004/RW 006, Kelurahan Gayamdompo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar ini belum tahu mau memilih siapa. Akan tetapi, dia mantab akan datang ke TPS saat hari H.

Kakak Rudi, Hardi, menuturkan adiknya tersebut cukup antusias setiap pemilu. Namun, dia mengaku tidak pernah mengarahkan Rudi untuk mencoblos calon atau partai tertentu.

"Pemilu kemarin (2019) dia datang sendiri ke TPS dan mencoblos tanpa bantuan," kata Hardi.

Baca juga: Pemilu Makin Dekat, Pemimpin Terpilih Dituntut Lindungi Lahan Gambut

Akan tetapi, sejauh pengalamannya, tidak ada sosialisasi atau kampanye khusus yang menjangkau dan mengajak adiknya untuk memilih paslon tertentu.

Setiap momen coklit, petugas hanya menyambangi dan melakukan pendataan. Tidak ada sosialisasi lanjutan.

Di Kabupaten Karanganyar, Rudi adalah salah satu dari 261 penyandang disabilitas intelektual yang masuk DPT. Jumlah ini hanya 4,91 persen dari total penyandang disabilitas yang masuk DPT KPU Kabupaten Karanganyar.

Mekanisme tidak siap

Koordinator Advokasi dan Jaringan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Purwanti menilai, mekanisme pemilu belum mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas intelektual.

KPU sebagai penyelenggara pemilu saja memiliki persepsi berbeda soal jenis disabilitas dengan undang-undang (UU).

UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Disabilitas, ada empat jenis disabilitas yakni disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik.

Khusus disabilitas mental, ada tiga ragam menurut UU tersebut yaitu lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.

Sedangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022 terdapat enam jenis disabilitas yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensorik wicara, disabilitas sensorik rungu, dan disabilitas sensorik netra.

Pada jenis disabilitas intelektual, tidak ada penjelasan ragamnya seperti dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Disabilitas.

Pengendara sepeda motor melintas di depan Kantor KPU Kota Solo di Jl. Kahurpian Utara No. 23, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Kamis (14/12/2023).KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Pengendara sepeda motor melintas di depan Kantor KPU Kota Solo di Jl. Kahurpian Utara No. 23, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Kamis (14/12/2023).
Mekanisme itu tidak jelas terkait pemutakhiran data, asesmen kebutuhan, keperluan kebutuhan, hingga informasi peserta pemilu, pelaksanaan pencoblosan, dan kebutuhan pendamping.

Purwanti juga menyoroti masalah administrasi kependudukan yang tidak tuntas dan berimplikasi pada pendataan calon pemilih dan penetapan DPT.

Bagi disabilitas intelektual kategori sedang hingga menengah, termasuk lambat belajar, sangat sulit terdeteksi dalam coklit hingga masuk DPT karena faktor keluarga yang tidak mendata kebutuhan khusus mereka di dalam Kartu Keluarga.

Sedangkan disabilitas intelektual kategori menengah hingga berat, termasuk tuna grahita dan down syndrome, sebagian ada yang terdeteksi dan sebagian lagi tidak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri.

“Mekanisme menjangkau disabilitas intelektual juga belum ada. Aksesibilitas juga belum terkerangka dengan baik. Terkait juga dengan sensus kependudukan kita,” ucap Purwanti.

Baca juga: KPU Didorong Angkat Isu Krisis Iklim dalam Pemilu 2024

Di satu sisi, penyandang disabilitas memiliki daya tawar yang lemah. Hal tersebut membuat penyandang disabilitas intelektual sulit meminta negara memfasilitasi akomodasi yang layak beserta aksesibilitas sesuai kebutuhan mereka.

Kondisi itu juga berimplikasi pada hak politik mereka, termasuk hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih.

“Ketika posisi tawarnya lemah, terkait dengan visi misi program pembangunan kebijakan akan sangat minim sekali mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas intelektual,” jelasnya.

Menurut Purwanti, penyandang disabilitas intelektual sebetulnya memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Akan tetapi, agar mereka dapat menentukan pilihannya, perlu ada metode dan pendidikan yang tidak sama dengan non penyandang disabilitas.

“Mungkin dengan gambar, video, tekniknya tidak di dalam kelas. Bisa menggunakan pendampingan berbasis psikologi,” ucapnya.

Bagi pelaku politik praktis, isu disabilitas sangat strategis untuk mendulang suara. Penunjukkan kepedulian untuk kelompok disabilitas akan mendongkrak citra mereka.

“Apakah disabilitas intelektual punya daya tawar posisi di kebijakan? ini yang masih menjadi tantangan. Istilahnya masih mencari tapi belum sampai mendudukkan disabilitas sesuai dengan hak asasi manusianya,” ujar Purwanti.

Pendidikan politik

KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Jenis dan ragam disabilitas

Partai politik sebagai salah satu pemegang kepentingan terkait pendidikan politik dalam sistem demokrasi juga belum memberikan ruang yang lebar bagi pendidikan politik penyandang disabilitas intelektual.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus Wakil Ketua DPRD Solo Sugeng Riyanto menuturkan, sejauh ini belum ada alokasi khusus untuk pendidikan politik bagi penyandang disabilitas. Pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS Solo, menurut Sugeng, tidak dikhususkan pada satu kelompok saja.

Sugeng mengakui bahwa pendidikan politik yang didapatkan oleh penyandang disabilitas intelektual masih sangat kurang.

Alih-alih menjadikannya sebagai tanggungjawab partai, Sugeng meminta mereka mencari informasi sebanyak-banyaknya dari beragam pihak.

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 juga tidak punya strategi pendidikan politik secara langsung bagi penyandang disabilitas intelektual.

Baca juga: Enam Strategi Lemhanas Tangkal Disrupsi Informasi Jelang Pemilu 2024

Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Solo Her Suprabu menyatakan, pendidikan politik itu mereka berikan lewat pelatihan dan sosialisasi kepada kader partainya. Harapannya, mereka yang menyebarkannya kepada publik, termasuk penyandang disabilitas intelektual.

Salah seorang penyandang disabilitas daksa, Slamet Widodo membenarkan minimnya peran partai terkait pendidikan politik bagi komunitas disabilitas.

Menurutnya, partai politik masih belum paham dan cenderung acuh tak acuh kepada kelompok atau komunitas penyandang disabilitas secara keseluruhan.

"Seharusnya partai politik lebih belajar mengenai disabilitas. Bagaimana cara memahami mereka, memberikan pelayanan, dan berkomunikasi dengan mereka," tutur Slamet.

Pria yang maju sebagai caleg DPRD Kota Solo dari PKS ini menyadari para penyandang disabilitas kerap dijadikan sarana mendulang pencitraan dalam momen pemilu.

Pada sisi lain, dia mendukung pelibatan disabilitas dalam politik praktis agar bisa bersuara mewakili komunitasnya.

"Diberi ruang yang sama atau mendapat jatah menjadi caleg dari parpol yang ada. Termasuk juga di kepengurusan partai," jelas Slamet.

Kepala Sekolah SMP-SMA Al Firdaus Umi Nopiarti mengungkapkan, semua pihak perlu memahami metode dan menggunakan medium yang tepat untuk memberikan pendidikan politik bagi komunitas disabilitas.

Penyelenggara pendidikan inklusi ini menilai, beragam poster, iklan, hingga pesan terkait pemilu masih belum inklusi dan menjangkau penyandang disabilitas intelektual.

"Para pelaku politik paling tidak harusnya memiliki empati untuk penyandang disabilitas intelektual. Apalagi yang tidak bersekolah ada banyak sekali. Mereka yang bersekolah adalah mereka yang mampu," tutur Umi.

Umi menggambarkan, penyandang disabilitas intelektual sudah diminta untuk memilih, akan tetapi edukasi yang mereka dapatkan tidaklah memadai.

"Mereka perlu memahami haknya dan disentuh ranah politiknya. Mereka tetap memiliki peran untuk menentukan masa depan dengan memilih pemimpin," kata Umi.

Baca tulisan sebelumnya Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (I)

Artikel ini merupakan salah satu laporan yang mendapat beasiswa peliputan dari program Training dan Fellowship Meliput Isu Pemilu dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan Google News Initiative.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau